RASIOO.id – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Tangerang menggelar aksi di depan kawasan pendidikan Cikokol, Kecamatan Tangerang, Senin, 10 November 2025. Aksi tersebut dilakukan untuk menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia.
Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk dan poster bertuliskan penolakan terhadap pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Mereka menilai, pemberian gelar tersebut bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan dan kemanusiaan, terutama jika dilihat dari rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru.
Ketua DPC GMNI Kota Tangerang, Elwin Mendrofa, mengatakan bahwa Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum refleksi terhadap perjuangan kemerdekaan dan penderitaan rakyat akibat tirani kekuasaan, bukan justru menyanjung tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai tragedi kemanusiaan.
“Kami menolak keras pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah perlawanan terhadap kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Sementara rezim Orde Baru justru melahirkan bentuk baru dari penjajahan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran HAM,” tegas Elwin di tengah aksi.
Elwin menilai, refleksi Hari Pahlawan 10 November seharusnya menghidupkan kembali semangat nasionalisme sebagaimana yang dikobarkan Bung Tomo dalam pertempuran Surabaya 1945, bukan menormalkan masa lalu yang penuh represi.
Pihaknya, berpegang pada ideologi Marhaenisme Bung Karno, yang menempatkan keadilan sosial dan kedaulatan rakyat sebagai dasar perjuangan.
Elwin menguraikan sejumlah peristiwa kelam yang menjadi dasar penolakan terhadap Soeharto sebagai pahlawan.
Pertama, Tragedi 1965, yang disebut sebagai pelanggaran HAM besar-besaran terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI. Ribuan orang dibunuh tanpa proses hukum, sementara keluarga korban mengalami diskriminasi sosial selama puluhan tahun.
Kedua, Peristiwa Malari (15 Januari 1974) yang bermula dari demonstrasi mahasiswa menentang dominasi ekonomi asing. Aksi itu berakhir dengan kerusuhan besar, menewaskan puluhan orang dan diikuti penangkapan tokoh-tokoh intelektual serta aktivis, termasuk Hariman Siregar dan Marsilam Simanjuntak. Pemerintah Orde Baru meresponsnya dengan kebijakan represif dan pembungkaman ruang akademik.
Ketiga, praktik Penembakan Misterius (Petrus) antara tahun 1982–1985. Pemerintah mengklaimnya sebagai upaya memberantas kejahatan, namun ribuan orang tewas tanpa proses hukum yang jelas. “Ini bentuk kejahatan negara terhadap rakyatnya,” tegas Elwin.
Keempat, Tragedi Tanjung Priok 1984, di mana aparat militer menembaki warga muslim yang memprotes tindakan tentara di masjid. Puluhan orang tewas, dan banyak lainnya luka-luka serta hilang.
Kelima, Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung Timur, ketika pasukan militer menyerbu warga sipil yang dituduh ekstremis. Peristiwa ini menewaskan puluhan orang dan meninggalkan luka panjang bagi para korban dan keluarganya.
Dan terakhir, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, momen yang menjadi simbol perlawanan terhadap tirani. Empat mahasiswa Trisakti gugur ditembak aparat ketika menuntut pengunduran diri Soeharto.
“Darah para mahasiswa itu adalah harga dari kebebasan yang kita nikmati hari ini,” ujar Elwin.
Pihaknya menilai, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah yang mencederai ingatan kolektif bangsa.
“Pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang membebaskan rakyat, bukan menindasnya. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus jejak penderitaan jutaan orang,” kata Elwin.
Elwin menilai, pemerintah lebih berhati-hati dalam menafsirkan sejarah. Mereka menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan tidak menutupi kebenaran dengan penghargaan politik.
Hari Pahlawan, lanjut Elwin, harus menjadi waktu untuk menyala kembali semangat perlawanan terhadap ketidakadilan, bukan sekadar seremonial.
“Bung Karno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Tapi menghormati bukan berarti menutup mata terhadap sejarah kelam. Kita hormati mereka yang berjuang untuk rakyat bukan mereka yang membuat rakyat menderita,” pungkasnya.
Simak rasioo.id di Google News











Komentar