Jiwa dan Kisahnya

Alkisah, seorang pemuda menjadi pencuri. Ketika masih kanak-kanak, ia membawa telur-telur curian. Tanpa bertanya asal-usul telur tersebut, sang ibu memujinya karena telah membawakan makanan, dan kemudian membuatkan sang anak hidangan telur kegemarannya. Beberapa waktu kemudian, sang anak yang bertumbuh menjadi pemuda membawa ayam, kemudian domba, lalu membawa pulang sejumlah uang. Tiap kali, sang ibu memujinya tanpa pernah menanyakan asal-usul hadiah tersebut.

Ketika pihak berwajib menangkapnya, sang pemuda tersebut telah menjadi perampok dan pembunuh. Ia kemudian dijatuhi hukuman gantung. Permintaan terakhirnya adalah bertemu dengan ibunya di tempat penggantungannya. Ia meminta ibunya untuk mendekatinya dan menjulurkan lidahnya. Ketika sang ibu mematuhi permintaannya yang janggal itu, si pemuda pencuri menggigit lidah sang ibu dengan kuatnya hingga berdarah.

Pemuda terhukum tersebut menjelaskan, “Permohonan terakhirku adalah menggigit lidah orang yang membawaku pada nasib ini. Jika saja ibuku menanyakan darimana aku mendapatkan barang-barang yang aku bawa ke rumah, jika ia memarahiku dan menghukumku karena mencuri, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang pencuri. Lidahnya yang terlalu memanjakanku adalah musuh terburukku.”

Kisah tersebut ditulis Robert Frager, Guru Sufi dan profesor psikologi pada Intitute of Transpersonal Psycologi, California. Dalam bukunya yang mengulas soal hati, diri, dan jiwa, Robert Frager mencoba mempertegas penjelasannya tentang pentingnya menjaga keseimbangan fungsi jiwa pada seseorang.

Mengikuti tradisi sufistik, beliau membagi jiwa menjadi tujuh bagian atau tujuh sisi dari keseluruhan jiwa kita yang masing-masing memawikili tingkat evolusi yang berbeda: jiwa mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. Jika kita memperhatikan sebagian dari jiwa-jiwa kita dan mengabaikan sebagian yang lain, tak terhindarkan lagi kita akan kehilangan keseimbangan.

Pada kisah pemuda pencuri tersebut, Robert Frager mencoba menggambarkan dampak buruk dari ketidakseimbangan fungsi jiwa seorang ibu yang membawa anaknya pada nasib sial. Mengalami kematian dengan cara eksekusi algojo di tiang gantung.

Barangkali, penghasilan yang dibawa pulang anaknya ke rumah, menurut sang ibu adalah prestasi yang layak untuk dirayakan. Bahkan mungkin juga untuk mencitrakan pada lingkungan luarnya, bahwa anaknya adalah anak yang berdaya, mapan, berkecukupan, dan bakti pada orangtuanya. Sebuah citra yang mungkin dalam pandangannya sangat ideal.

Keabaiannya menanyakan bagaimana cara sang anak menghasilkan barang-barang itu, bisa juga karena sang ibu tidak ingin anaknya merasa kecewa atas jerih payah usaha dan motivasi hidup untuk keadaan masa depan yang lebih baik.

Nampak nyata, ketidakmampuan sang ibu menjaga keseimbangan jiwa insaninya, membuatnya tersesatkan oleh belas kasih yang tidak pada tempatnya, yang sesungguhnya merupakan sejenis sentimentalitas. Pada gilirannya, belas kasih yang salah tempat itu justru membawa kondisi anaknya pada situasi terburuk. Saat itu, tidak banyak yang bisa sang ibu lakukan, karena semuanya sudah sangat terlambat!

Terkadang, respons yang lembut dan halus bukanlah yang dibutuhkan oleh seseorang. Suatu waktu seseorang membutuhkan tendangan di bokong mereka, yang tentunya dilakukan dengan belas kasih untuk memberikan efek yang maksimal.

Agama, bahkan memberi panduan pada orangtua memukul pantat anaknya di usia tujuh tahun, saat membangkang perintah sholat. Demikian juga, meskipun bakti kepada orangtua adalah perilaku yang mulia dari seorang anak, pada situasi tertentu, seorang anak bahkan wajib tidak mematuhi orangtuanya yang mengajak perbuatan terlarang dalam ajaran agama.

Situasi Kita

Dalam keseharian masing-masing kita, dilema moral seperti yang dialami kisah di atas sering terjadi dalam situasi dan konteks yang berbeda. Kita dihadapkan pada satu persoalan yang menuntut kita mengambil sikap dan pilihan dalam waktu yang sangat singkat dan cepat. Dilemanya, pilihan kita harus mengorbankan salah satu dari nilai yang barangkali menurut kita sama-sama mengandung kebaikan. Tentunya, pilihan itu akan berdampak pada situasi kemudian hari apakah membaik atau malah menjadi lebih rumit.

Menjadi relevan bagi kita, teori keseimbangan yang diketengahkan Robert Frager mengenai tujuh sisi dari keseluruhan jiwa kita, yakni jiwa mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. Semua jiwa ini menuntut dipenuhi kebutuhannya, dan diri kita harus berupaya sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu sekaligus berusaha lebih keras untuk mengendalikannya.

Jiwa mineral dan nabati kita mengajak untuk makan yang enak-enak, dan nabi mengajarkan kita mengendalikannya untuk makan di saat lapar dan berhenti sebelum kenyang. Juga memberikan panduan mana yang halal dan baik, halal tapi tidak baik, sampai mana yang haram untuk dimakan. Lalu, suara beradunya sendok dan piring saat kita makan sementara tetangga kita kelaparan, masuk dalam kategori bunyi yang diharamkan. Doktrin nilai itu mendorong jiwa pribadi kita untuk peduli pada sesama.

Dan juga jiwa lainnya, hewani untuk memenuhi dan mengendalikan birahi, insani untuk memenuhi dan mengendalikan nilai-nilak kemanusiaan kita salah satunya menempatkan cinta, belas kasih, emosi sesuai porsi dan proporsinya.

Jiwa rahasia kita mengajarkan kita bagaimana memperlakukan dunia. Bentuk ketidakseimbangannya adalah kita menganggap materi sebagai sesuatu yang hakiki dan penting, serta mengabaikan dunia spiritual. Bahkan, diajarkan yang sesungguhnya menjadi harta kita, adalah apa yang sudah kita zakat sedekahkan. Pada siapa memberi zakat dan sedekah juga diurutkan kategori-kategorinya, belum lagi soal niatnya.

Idealnya bagi kita, adalah menjaga keseimbangan enam sisi dari keseluruhan jiwa kita, sehingga kita mengenali jiwa maharahasia kita, yang menurut para sufi adalah percikan ilahi pada masing-masing diri kita.

Dari jiwa maharahasia ini, kita mendengar seruan “Hai jiwa-jiwa yang tenang!”. Lalu, kita menyahuti panggilan itu untuk masuk dalam golongan hamba-hamba-Nya, dan masuk di dalam surga-Nya.

Segala soal terkait memahami diri kita sendiri bisa jadi pekerjaan paling mudah tetapi sekaligus paling rumit di dunia ini. Teorinya mudah dipahami, tapi pelaksanaannya terlalu banyak gocekannya bukan!

Saeful Ramadhan

Penikmat Kopi Rujukan

 

 

Jangan Lewatkan

Lihat Komentar