Laporan: Saeful Ramadhan
“Jangan keluar dulu.”
Suara itu lembut, tapi tegas.
Dari barisan jamaah yang mulai beringsut meninggalkan shaf, seketika semuanya kembali duduk.“Nanti saya kasih tahu rahasianya,” lanjutnya sambil tersenyum, penuh misteri, seolah menyimpan sesuatu yang dalam.
Persinggahan di Lembah Sejarah
RASIOO.id — Hari itu, Minggu, 5 Oktober 2025. Jamaah Travel Ibnu Aqil tiba di Masjid Al-Arish, Kota Badar, setelah menempuh 150 kilometer perjalanan dari Mekkah menuju Madinah. Mereka transit sejenak untuk berziarah ke salah satu tempat paling bersejarah dalam Islam, beberapa saat setelah matahari tenggelam di ufuk barat.
KH Agus Salim – Gus Lim memimpin salat Maghrib yang dijamak takdim dengan Isya. Dari puluhan jamaah yang ikut, hanya belasan yang hadir tepat waktu. Sebagian masih mengantre wudhu, sebagian sibuk mengabadikan momen di sekitar masjid, terpukau akan arsitektur dan sejarahnya.
Di depan masjid, seorang pemuda tampak membagikan kurma dalam kantung plastik seberat satu kilogram. Sedekah sederhana, namun terasa hangat di tengah suasana gurun.
Usai wiridan, Gus Lim berdiri dan mengajak jamaah bergeser ke sisi kiri, sejajar dengan mimbar imam. Sinar lampu masjid menyapu lembut dinding batu. Udara sore terasa lembab—angin padang pasir seolah menahan napas.
Di Sini Rasulullah Menangis
Dengan nada lirih, Gus Lim membuka kisahnya:
“Ketahuilah, di tempat ini dulu Rasulullah berdoa kepada Allah. Menangis tersedu-sedu. Memohon dengan sepenuh hati agar pasukan kecilnya diberi kemenangan.”
Malam sebelum Perang Badar, Rasulullah SAW mendirikan tenda di lokasi ini. Dalam gelapnya malam, beliau mengangkat tangan tinggi ke langit. Tubuhnya bergetar, suara doanya bergetar:
“Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak akan ada lagi yang menyebut nama-Mu di muka bumi.”
Air matanya jatuh ke pasir. Hingga Abu Bakar ash-Shiddiq datang memeluk beliau, dan berkata lembut:
“Cukuplah, wahai Rasulullah. Allah pasti akan menepati janji-Nya.”
Tak lama, turunlah firman Allah:
“Sesungguhnya Aku akan membantu kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”
(QS Al-Anfal: 9)
Jamaah terdiam. Ada yang bersujud sambil menangis, ada pula yang menatap langit-langit masjid dengan mata basah, larut dalam doa.
Kini, di tempat tenda Rasulullah dulu berdiri, menjulang Masjid Al-Arish—sebuah saksi bisu perjuangan dan air mata yang menggetarkan langit.
Strategi Nabi dan Kearifan Sahabat
Gus Lim menceritakan, Rasulullah awalnya memilih lokasi berkemah di kaki bukit, untuk memantau pasukan musuh. Tapi kemudian datang seorang sahabat Anshar, Hubab bin Mundzir, yang dengan sopan bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah tempat ini engkau pilih karena wahyu, atau pertimbangan pribadi?”
Rasulullah menjawab,
“Ini adalah pendapatku sendiri.”
Maka Hubab pun mengusulkan agar pasukan berpindah ke lokasi yang lebih dekat dengan sumber air: sumur Badar.
Rasulullah tersenyum, menerima masukan itu dengan lapang dada. Pasukan pun berpindah ke lokasi baru yang strategis. Di situlah kemudian tenda Rasulullah didirikan—yang kini menjadi lokasi Masjid Al-Arish.
Sebuah keputusan sederhana, tapi penuh hikmah.
“Itulah kebesaran hati Nabi: menerima pendapat sahabat yang membawa kebaikan,” ujar Gus Lim.
Pertempuran Dimulai, Malaikat Turun
Pertempuran berlangsung dimulai dengan pertarungan satu lawan satu. Tokoh Quraisy tumbang: Utbah, Syaibah, dan Walid bin Utbah tewas di tangan Hamzah, Ali, dan Ubaidah bin Harits.
Lalu, perang berlanjut, kedua pasukan saling serang. Dalam pertemuran itu, Abu Jahal, musuh bebuyutan Islam ditebas oleh dua pemuda Anshar: Mu‘ādz bin ‘Amr bin al-Jamūh dan Mu‘āwwidz bin ‘Afra’, yang bahkan belum genap dewasa.
Dua pemuda belasan tahun itu, bahkan ingin turun ke gelanggang lebih awal saat duel satu lawan satu. Namun, pasukan Quraisy menolak dengan dalih pemuda tersebut tak sebanding dengan “jago” yang mereka turunkan.
Sebelum bertempur, salah satu dari mereka berbisik pada sahabat Abdurrahman bin Auf:
“Wahai paman, tunjukkan Abu Jahal. Aku ingin membunuhnya karena ia mencaci maki Rasulullah.”
Ketika ditunjukkan, keduanya langsung menyerbu. Abu Jahal roboh, terluka parah. Ia ditemukan masih bernafas oleh Abdullah bin Mas’ud, yang kemudian mengakhiri nyawanya.
Pasukan Quraisy panik. Mereka melihat pasukan bersayap, berpakaian putih, menunggang kuda, bukan manusia biasa.
“Kami tidak melawan manusia,” ujar salah satu tawanan Quraisy setelah perang usai.
“Kami melihat pasukan bercahaya menebas kami tanpa bisa kami hindari.”
Rasulullah tersenyum dan berkata:
“Itu adalah para malaikat yang Allah turunkan untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.”
Perang badar menjadi kemenangan besar umat Islam. Bahkan, kemenangan itu menjadi buah bibir penjuru dunia. Sebanyak 70 pasukan Quraisy tewas dan 70 lainnya ditawan. Sementara dari kalangan pasukan Rasulullah 14 sahabat tewas di perang itu.
Shalawat Badar: Dari Lembah Badar ke Tanah Banten
Menurut Gus Lim, semangat Badar tak berhenti di gurun pasir. Ia menyeberangi lautan, sampai ke bumi Nusantara. Ketika Indonesia masih dijajah, para ulama dari Jawa dan Banten datang ke Makkah, menemui Syekh Nawawi al-Bantani.
Mereka berkata:
“Wahai Tuan Guru, bangkitkan semangat umat di tanah air, seperti semangat Rasulullah di Badar.”
Syekh Nawawi terdiam lama. Lalu dari tangannya lahir Shalawat Badar—sebuah pujian kepada Nabi yang penuh semangat jihad dan cinta tanah air.
Bait-baitnya menggema dari pesantren ke medan perjuangan.
Tahlil di Makam Syuhada
Usai bercerita, Gus Lim mengajak jamaah berjalan ke Makam Syuhada Badar, sekitar 300 meter dari masjid. Langit malam diterangi rembulann yang hampir purnama. Angin gurun berembus pelan, seolah ikut menunduk.
Di sana, tak ada nisan megah. Hanya batu-batu kecil penanda para sahabat yang gugur.
Gus Lim duduk bersandar di tembok pemakaman. Dengan suara berat ia berkata:
“Di sinilah para syuhada Badar dimakamkan. Mereka menang bukan karena pedang, tapi karena iman.”
Ia lalu memimpin tahlil. Suara Laa ilaaha illallah bergema lembut, menyatu dengan desir angin padang pasir.
Tangis para jamaah pecah dalam diam.
Lalu Gus Lim menutup doa:
“Sekarang mari kita baca Shalawat Badar, shalawat perjuangan dari Badar hingga ke Nusantara.”
Shalawat yang Menggetarkan Lembah
Jamaah pun serempak melantunkan:
Shalaatullaah salaamullaah ‘alaa Thaaha Rasuulillaah
Shalaatullaah salaamullaah ‘alaa Yaasiin Habiibillaah
Tawassalnaa bibismillaah, wabil haadi Rasuulillaah
Wakulli mujaahidin lillaah, bi ahlil Badri yaa Allaah
Suara mereka menggetarkan lembah.
Beberapa jamaah terisak. Di antara batu-batu nisan itu, shalawat terasa hidup—seolah para syuhada tersenyum mendengarnya.
Langit semakin gelap di Lembah Badar berubah, rembulan namapk terang di langit yang tak berawan.
Seakan alam pun ikut bershalawat, menyambung doa Rasulullah yang dulu pernah meneteskan air mata di tanah ini.
Prank dan Nasi Biryani
Setelah ziarah, Gus Lim mengajak jamaah kembali ke bus untuk menuju Madinah. Tapi sebelum itu, mereka mampir ke sebuah restoran lokal di Badar. Menu andalannya: nasi biryani dengan lauk ikan kakap.
Menurut Desi Hasbiyah, putri Gus Lim, setiap kali ziarah ke Badar, sang ayah selalu mentraktir makan.
Saat hidangan disajikan, seorang pelayan memukul baki berisi nasi dan lauk hingga berbunyi “prankk”, membuat jamaah terkejut.
Beberapa detik hening, lalu tawa pun pecah. Rupanya, itu memang gaya khas penyambutan restoran tersebut.
“Kaget banget,” ujar salah satu jamaah sambil tertawa.
Sebelum menyantap hidangan, jamah serentak mengucap, “Terima kasih Abi,”. Setelah itu, membaca do’a, dan
“Selamat makan,”
Daftar 14 Syuhada Perang Badar
Simak rasioo.id di Google News










Komentar