Sayyidina Addas, Darah Rasulullah, Anggur, dan Bismillah

Laporan: Saeful Ramadhan

 

Batu-batu kecil dan pecahan tanah kering menghujam tubuh Nabi Muhammad. Beberapa mengenai wajah beliau, sementara yang lain mendarat di kaki dan punggungnya. Zaid bin Haritsah, yang menemani Rasulullah berdakwah ke Kota Thaif, berusaha melindungi tubuh beliau. Darah menetes dan membasahi pasir gurun, menandai setiap langkah berat menuju kebun di kaki bukit.

 

RASIOO.id – Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-10 kenabian, atau tiga tahun sebelum hijriyah. Dalam literatur sejarah Islam, tahun tersebut dikenal sebagai ‘Am Al-Huzn’ — Tahun Kesedihan — karena dua sosok terdekat Nabi baru saja wafat: Khadijah binti Khuwalid, istri tercinta, dan Abu Thalib, paman yang selalu melindungi beliau dari tekanan kaum Quraisy.

Puluhan jamaah ziarah dari Travel Ibnu Aqil kembali mendengar kisah itu dari KH Agus Salim, yang akrab disapa Gus Lim, pengasuh Pondok Pesantren Ibnu Aqil di Kabupaten Bogor. Gus Lim membimbing jamaah melakukan napak tilas perjalanan Nabi Muhammad SAW pada Kamis, 2 Oktober 2025. Rombongan tiba di tempat tersebut menjelang sore.

“Nabi hijrah ke Thaif untuk titirah,” kata Gus Lim. Dalam bahasa Sunda, titirah berarti mencari tempat perlindungan sementara.

Nabi berusaha mencari dukungan politik dan berharap kabilah besar Bani Tsaqif, penduduk Thaif, mau menerima ajaran Islam. Menurut Gus Lim, penduduk Thaif pada dasarnya ramah dan lembut, tapi karena hasutan kafir Quraisy Makkah, mereka terprovokasi dan berlaku kasar terhadap Rasulullah.

Namun, tidak semua penduduk Thaif bersikap demikian. Dua saudagar Quraisy Makkah, ‘Utbah dan Syaibah bin Rabiah, pemilik kebun anggur dan kurma yang dilalui Rasulullah, merasa iba melihat beliau yang terluka dan berdarah melewati kebun mereka. Mereka kemudian memerintahkan budak mereka, Addas, untuk membawa setandan anggur dan kurma kepada Rasulullah.

“Di sinilah, seorang pemuda bernama Addas membawa setandan anggur,” jelas Gus Lim, suara beliau merendah. “Tempat itu kini menjadi sebuah masjid kecil di Kota Thaif, yang diberi nama Masjid Addas.”

“Addas adalah budak Nasrani dari Ninawa (kini Irak). Ketika Rasulullah mengambil satu butir anggur, beliau mengucapkan, ‘Bismillāh.’ Addas terkejut, karena belum pernah mendengar orang Arab menyebut nama Allah seperti itu.”

Jamaah tampak terharu, sementara angin sore berhembus lembut membawa aroma tanah Thaif yang hangat.

“Rasulullah kemudian bertanya asalnya,” lanjut Gus Lim. “Addas menjawab, ‘Aku dari Ninawa.’ Rasulullah tersenyum dan berkata, ‘Dari negeri orang saleh, Yunus bin Matta.’”

Addas tercengang. “Bagaimana engkau tahu Yunus bin Matta?” tanya dia. Rasulullah menjawab, “Dia nabi, dan aku pun nabi.”

Gus Lim berhenti sejenak, menatap jamaah satu per satu, lalu lirih berkata:

“Di situlah Addas menangis. Ia mencium tangan dan kaki Nabi, lalu bersyahadat. Seorang budak sederhana menjadi orang pertama di Thaif yang beriman kepada Rasulullah.”

Baca Juga: Di Makam Abdullah bin Abbas, Gus Lim Ceritakan Keberkahan Ludah Rasulullah dan Kelembutan Penduduk Thaif

Keteguhan Addas dan Amarah Sang Majikan

Dalam kisahnya, Gus Lim menambahkan satu bagian yang membuat beberapa jamaah terdiam.

“Ketika Addas kembali ke tuannya, dua bangsawan Quraisy itu marah besar,” kata Gus Lim. “Mereka berkata, ‘Celaka engkau, Addas! Mengapa mencium tangan dan kaki orang itu? Jangan  tinggalkan agamamu!’ Namun, Addas menjawab, ‘Tidak ada manusia di bumi seperti dia. Ucapannya bukan ucapan manusia biasa.’”

Menurut beberapa riwayat, kedua majikannya memukul Addas dan mengancam akan memberi hukuman lebih berat jika tetap mengikuti ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Namun, Addas tak bergeming.

Keteguhan Addas kemudian tersebar di kalangan bangsawan kafir Quraisy lainnya. Di pasar-pasar, mereka mengejek Utbah dan Syaibah karena tidak bisa mengendalikan budaknya sendiri. Dua bangsawan itu merasa kehormatannya terusik, lalu mengancam akan menghukum Addas di muka umum.

Namun, keimanan Addas tidak goyah. Kalimat “bismillah” yang didengarnya langsung dari mulut Rasulullah benar-benar menancap di hatinya.

Menurut riwayat, penyiksaan terhadap Addas berhenti setelah sahabat Nabi memerdekakan budak itu dari tangan Utbah dan Syaibah bin Rabiah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Addas dimerdekakan oleh keluarga Rabiah setelah Utbah dan Syaibah meninggal dalam Perang Badar.

Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, Addas memberi pelajaran berharga: iman sejati tidak menunggu kaya atau merdeka, tapi dimulai dari keberanian hati.

Masjid Addas kini berdiri anggun dengan dinding krem pucat dan satu menara ramping. Di dalamnya, jamaah dapat melihat batu besar yang diyakini tempat Rasulullah bersandar. Tak jauh dari masjid, kaki bukit tempat Rasulullah dilempari batu oleh penduduk Thaif ramai dikunjungi peziarah. Cat merah di beberapa batu menjadi pengingat bahwa di sanalah darah Rasulullah menetes akibat lemparan batu.

Suasana masjid terasa teduh, meski di luar hiruk-pikuk pedagang kurma dan penjual siwak tidak pernah sepi. Do’a untuk Sayyidina Addas Radiallahu ‘Anhu terus mengalir di tempat tersebut.

 

Masjid Addas ramai dikunjungi peziarah. Konon, tempat itu menjadi tempat bersandar rasululullah yang penuh luka akibat lemparan batu penduduk Thaif. Di tempat itulah Addas membawakan standan Anggur dan mendengar kalimat Bismillah dari mulut Rasulullah. Foto: istimewa

 

Simak rasioo.id di Google News

Komentar