“Teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi,”
Pesan bernada optimis ini berasal kutipan surat Raden Adjeng Kartini. Perempuan berdarah Ningrat, kelahiran 21 April 1879 asal Jepara tersebut menulis pesan melalui surat kepada sahabat penanya Rosa Abendanon. Kartini berkirim surat secara rutin di akhir abad ke-19 hingga awal ke 20 saat Nusantara dalam jajahan Belanda. Pada jamannya, bukan perkara mudah bagi wanita mengekspresikan diri setara dengan kaum pria.
Tapi Kartini melakukannya. Kartini tampil melalui surat-suratnya untuk memperjuangkan emansipasi wanita, di saat kata-kata itu belum memiliki makna. Kartini adalah cahaya di langit Jepara. Pena menjadi senjatanya, dia berjuang dengan bahasa dan retorika yang dikuasai bangsa yang menjajah negerinya.
Selama tiga tahun, Kartini menuliskan surat – surat hasil kegelisahannya kepada para sahabat Belanda yang menjadi khalayak sasarannya sebagai orang-orang Eropa yang menjajah Indonesia. Meskipun ia seorang putri bangsawan Jawa, sebagai putri kraton yang selayaknya hidup nyaman, namun Kartini berjuang menjadi pencetus pergerakan indonesia, menyuarakan hak wanita.
Manneke Budiman, Guru Besar Ilmu Sastra dan Kajian Budaya Universitas Indonesia yang merupakan visitor researcher BRIN turut menafsir surat-surat Kartini. Ia mengatakan, Kartini adalah sosok pahlawan nasional yang medan perjuangannya yang paling kompleks dengan memilih cara lain, tidak seperti pejuang lainnya yang terjun di medan perang.
“Ia memilih mengekspresikan gagasan, aspirasi, dan impian dalam bentuk surat, di mana teknik yang dominan disebut dengan epistoler,” urai Manneke, dalam diskusi bertajuk Kartini Cahaya di Langit Jepara, yang digagas oleh Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, beberapa waktu lalu.
Dengan teknik tersebut, Kartini bercerita dengan sangat pribadi tentang hal- hal yang tidak mungkin diungkap di publik. Tapi pada saat yang sama, teknik ini memungkinkan penulis bicara jujur tanpa rasa ketakutan.
Dituturkan Manneke, dalam pandangan politisnya, kaum perempuan belum terbebaskan, belum mempunyai kesetaraan, masih hidup dalam perbedaan. Perjuangannya tidak mudah karena Kartini dituding memiliki perjuangan yang sempit, karena dianggap hanya memikirkan perempuan di kala negara sedang berjuang melawan Belanda.
Kartini saat itu dipandang seolah ingin mengahancurkan tradisi yang sebagai suatu kemapanan yang seharusnya dilindungi oleh bangsanya sendiri yaitu bangsa ningrat.
Sebagaimana diungkapkan dalam dialog antara dia dan ibunya, yang direkam dalam surat Abendanon. Tergambar bahwa Kartini mengungkapkan kepada ibunya, dia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, tapi untuk para perempuan Jawa lainnya.
Dalam hal ini, Manneke mengulas, bahwa perempuan adalah penjaga, pengusung, bahakan pelestari penindasan. Penindasan dalam hal ini bukan fisik akan tetapi kebodohan. Perempuan sebagai pengawal peradaban menjadi pintu masuk bagi pembebasan seluruh bangsa dari penderitaan dan penindasan.
“Sehingga tidak ada kontradiksi bagi emansipasi perempuan, karena ini suatu perjuangan untuk seluruh bangsa,” anggap Manneke.
Menurutnya, teknik epistolar yang dibawakan Kartini banyak membawa solusi. Contohnya, dengan fasih dia harus menggunakan bahasa penjajahnya, untuk mengukuhkan bahwa dia menguasai bahasa penguasanya, alias penjajahnya.
Kartini Gagas Perjuangan Kemerdekaan melalui Pesan Bahasa dan Seni
Kartini dihormati bukan karena kebangsawanannya. Ia berhasil menarik perhatian masyarakat untuk mengusahakan pendidikan formal bagi perempuan Indonesia. Kartini dikenal sebagai tokoh wanita penuh ide dengan daya juangnya di dunia pendidikan dan emansipasi wanita.
Kartini banyak mengingatkan dan mencatat akan konteks historis politik, sosial, budaya, dan bidang lainnya. Ia mengungkapkan gagasannya melalui kecintaannya dengan bahasa dan seni.
Pramudya Ananta Tour, tokoh yang sering dipanggil dengan nama Pram ini menyebutkan, Kartini sebagai awal mula kebangkitan nasional di Indonesia, bahkan sebelum syarikat islam Budi Utomo.
Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan, Sastri Sunarti mengatakan, Kartini merupakan perempuan pertama Indonesia yang memiliki akses terhadap kebersamaan.
Kartini memang tidak ikut mengangkat senjata di medan perang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan hindia belanda. Ia juga bukan seseorang yang tampil di muka publik melalui pidato – pidatonya.
“Namun pada masa itu, ia menggunakan retorika yang dikuasai bangsa Eropa melalui tulisan, tulisan hasil pemikirannya,” jelasnya.
Betapa perjuangan Kartini adalah ingin mewujudkan cita-cita pendidikan yang maju bagi kaum perempuan. Kartini seorang perempuan yang sangat mendambakan kemandirian, terutama kemandirian dalam dunia pendidikan. Ia mengajarkan kita betapa pentingnya pendidikan, pendidikan bagi para perempaun di tanah air tercinta. Seperti dalam suratnya, “Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang demikian mulia dan suci,”
Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Ade Mulyanah menyampaikan 106 surat kartini diterbitkan dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Digambarkan, Kartini sebagai figur intelektualitas perempuan ningrat jawa dengan pandangan dan pemikiran tentang kesetaraan wanita yang tetap punya ruang di antara kaum pria.
Kartini adalah seorang penulis hebat yang memiliki adik cerita luar biasa. Kisah Kartini agar selalu menjadi inspirasi para perempuan Indonesia. Kartini adalah cahaya di langit Jepara.
Selamat Hari Kartini!