Korek Api untuk Damanhuri

 

RASIOO.id – Seorang rekan bertanya kepadaku, “Kenapa kamu belum menulis obituari untuk mengenang Damanhuri?” Teman kami yang satu itu, sosok yang begitu dicintai, kini telah tiada. Ia pergi di usia yang rasanya masih terlalu muda, baru 35 tahun. Apalagi, dua anaknya masih kecil-kecil.

Jujur, aku malas menulis tentang Daman. Bukan karena tak ingin mengenangnya, tetapi aku masih jengkel pada Tuhan. Mengapa Daman dipanggil secepat ini? Namun, setelah 12 hari ia terbaring tanpa daya, digerogoti bakteri pioderma, aku mulai menerima bahwa sisi Allah SWT adalah tempat terbaik untuknya.

Penuh Kenangan dan Tawa

Daman bukan sekadar teman; ia adalah pencipta suasana. Gaya bicaranya khas, enteng, dan seringkali mengejutkan. Tawa adalah jejak yang selalu ia tinggalkan. “Kalau ada teman gampang marah, berarti separuh kemanusiaannya sudah terampas,” katanya suatu kali. Sebuah pelajaran hidup yang ia bungkus dengan canda.

Aku teringat saat kami menemani seorang teman membeli mobil bekas. Teman itu, dengan wajah penuh semangat, malah meringis karena jarinya terjepit pintu mobil. Alih-alih prihatin, Daman tertawa sampai terpingkal-pingkal. “Ini pertanda mobilnya cocok sama elu,” katanya santai. Teman kami hanya bisa melotot, sementara kami semua ikut tertawa.

Masih terbayang juga momen saat kami kemping bersama dua tahun lalu. Karena hujan tak berhenti, kami mendirikan tenda di atas dak beton lantai dua. Dengan gaya khasnya, Daman datang sambil berkacak pinggang dan berkomentar, “Kemping macam apa ini di atas loteng?”

Saat itu, ia juga meledek alasan orang mendaki gunung untuk “belajar hidup susah.” Katanya, “Kurang susah gimana lagi hidup lu?” Tawanya lepas, dan air mata kami keluar, bukan karena sedih, tapi karena terlalu banyak tertawa.

 

Daman, meski terlihat selalu santai, adalah orang yang serius dalam pekerjaan. Ia mencintai profesinya sebagai wartawan. Dalam guyonannya, selalu ada pesan terselip. Ia juga orang yang penuh akal. Kadang aku berpikir, Daman ini perpaduan antara milenial dan baby boomers. Bahkan aku menduga-duga dia “titisan” MacGyver.

Daman lebih suka memperbaiki barang rusak sendiri, walau hasilnya sering kali bikin kami tertawa. “Barang keliatan, masa gw gak bisa,” kata dia enteng.

Suatu kali, ia mencoba memperbaiki ponsel teman yang rusak ringan. Hasilnya? Ponsel itu jadi tambah rusak. Tapi alih-alih marah, teman kami hanya bisa ikut tertawa melihat usaha Daman yang “niat tapi ngawur.”

Malam Perpisahan

Namun, Minggu malam, 15 Desember 2024, kabar duka itu datang. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Mohon doa ya semua, Daman baru saja dipanggil Allah SWT,” tulis seorang teman di grup WhatsApp.

Kami semua terkejut. Meski tahu Daman sudah 12 hari di RSUD Kota Bogor, kabar ini tetap membuat kami lemas. Malam itu, ia seperti datang ke rumahku. Dalam mimpiku, ia memelukku erat dan meminta maaf. “Gue masih punya utang korek api yang gue tilep waktu nongkrong, ya,” katanya sambil tersenyum.

Aku ingin tertawa, tapi malam itu, aku tidak tahu bagaimana caranya.

 

Di makamnya, aku letakkan korek api dan dua batang rokok. Barangkali, sambil menerima doa-doa kami, ia bisa lebih santai di sana. Aku juga menggoda malaikat Munkar dan Nakir supaya jangan  nanya yang susah-susah. Kami semua bersaksi, Damanhuri, teman kami, manusia yang baik hati.

Selamat jalan, Daman. Tertawamu, kenanganmu, dan segala kelucuanmu akan selalu kami rindukan.

 

Kami percaya, Tuhan sangat menyayangimu, dan percayalah, dunia akan menyayangi orang-orang yang kamu kasihi. Pergilah dengan tenang, Daman!

 

 

 

Simak rasioo.id di Google News

Jangan Lewatkan

Lihat Komentar