Anak 8 Tahun Penjaga Nada Betawi: Bagus Putra dan Perlawanan Kecil di Tengah Arus Digital

RASIOO.id – Di tengah derasnya arus digital dan gempuran budaya populer yang menelan perhatian anak-anak, seorang bocah di pesisir Dadap, Teluknaga, memilih jalan berbeda. Namanya Bagus Putra, delapan tahun, siswa kelas dua sekolah dasar. Saat banyak anak asyik bermain gawai, Bagus justru larut dalam denting gambang kromong, musik tradisional Betawi.

Bagus anak dari keluarga seniman di Kambes, Kelurahan Dadap, yang dari Bapak dan Kakeknya mengalir darah seni, musik tradisi sudah akrab di telinga sejak kecil. Ia mengenal nada-nada gambang dari abangnya, yang aktif di Sanggar Beksi Kembang Dadap. Dari situlah perjalanan Bagus dimulai — tanpa paksaan, tanpa kursus, hanya karena rasa ingin tahu dan cinta yang tumbuh alami.

“Cuma mainin, diajarin sama abang,” katanya malu-malu saat ditemui usai tampil di ajang Tangerang Multi Sport Fest 2025 di Stadion Benteng Reborn, Minggu 2 November 2025.

Bagus mulai memegang alat musik itu setahun lalu. Tak ada jadwal latihan khusus, ia hanya datang ke sanggar ketika abangnya atau para pemain lain sedang berlatih. Kadang ia sekadar duduk di pojokan, mengamati cara mereka menabuh. Lama-lama, tangan kecilnya mulai ikut menirukan gerakan.

“Kalau Bagus sih udah latihan sekitar satu tahun. Awalnya autodidak aja, sering ikut-ikut nonton waktu latihan. Lama-lama bisa sendiri,” pengakuan sang Kaka, Rendi.

Ketika pemain lain beristirahat, Bagus justru tak bisa diam. Ia akan mengambil alat musik dan memainkan nada yang ia dengar sebelumnya. “Hobi,” katanya singkat saat ditanya alasannya menyukai gambang kromong. Tak ada paksaan dari orang tua, tak pula iming-iming hadiah. Semua datang dari kemauan sendiri.

“Kemauan sendiri, orang tua juga dukung,” tambahnya.

Bagus berlatih di Sanggar Beksi Kembang Dadap, sebuah komunitas budaya yang berdiri sejak 2020 di Kecamatan Teluknaga. Sanggar ini menaungi berbagai kesenian Betawi: Silat Beksi, Lenong, Ondel-ondel, hingga Gambang Kromong.

“Anak-anak kecil di sini banyak yang ikut. Laki-laki, perempuan, semua boleh. Yang penting mau belajar,” kata Rendi.

Sanggar itu dipimpin oleh Sandi Ucok, yang sejak awal berdiri bertekad melestarikan tradisi Betawi lewat generasi muda. Bagus adalah salah satu bukti nyata dari cita-cita itu: seorang anak kecil yang dengan polosnya menjadi penjaga nada-nada warisan leluhur.

“Ya paling ya untuk melestarikan budaya. Intinya jangan gengsi buat memajukan tradisi Betawi,” ucapnya.

Anak-anak seusia Bagus di Dadap kini tumbuh dengan dunia digital di genggaman. Permainan tradisional berganti dengan layar ponsel, lagu daerah tergantikan musik viral. Namun di tengah perubahan itu, Bagus memilih jalan yang berlawanan. Ia tidak banyak bicara soal cita-cita besar, tapi ia tahu apa yang ingin dilakukannya.

“Mau tetap main yang ini aja,” katanya, sambil menepuk bilah kayu alat musiknya.

Keputusan kecil itu adalah bentuk perlawanan halus terhadap zaman. Ia menolak tenggelam dalam gawai dan memilih sesuatu yang nyata — suara, kayu, dan irama yang menghubungkannya dengan tanah kelahirannya.

Bagus tidak bermain untuk ketenaran. Ia belum mengenal istilah “pelestarian budaya”, tapi setiap kali ia menabuh gambang, ia sedang menjaga sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya: identitas dan ingatan kolektif masyarakat Betawi pesisir.

Dalam festival seperti Tangerang Multi Sport Fest 2025, di mana olahraga, budaya, dan kebersamaan berpadu, kehadiran Bagus menjadi simbol harapan. Di panggung itu, ia bukan sekadar bocah delapan tahun yang memainkan alat musik, melainkan tanda bahwa tradisi belum mati, masih hidup di tangan-tangan kecil yang berani melawan arus.

“Anak zaman sekarang kebanyakan main HP. Tapi kalau ada yang kayak Bagus, mau belajar tradisi, itu luar biasa,” kata sang kakak.

Bagus memang belum tahu apa arti “pelestarian budaya”. Namun setiap kali ia memukul bilah-bilah kayu itu dengan irama mantap, sesungguhnya ia sedang melakukan hal yang sama: melestarikan.

Di penghujung acara, ketika sorak sorai mulai reda dan musik perlahan berhenti, Bagus duduk di pinggir panggung, menatap alat musiknya dengan mata berbinar. Barangkali ia tidak sadar, bahwa dari tangannya yang kecil, tradisi besar sedang diselamatkan, perlahan, tapi pasti.

Dan di tengah dunia yang sibuk menatap layar, Bagus Putra memilih mendengarkan suara kayu dan logam. Sebuah pilihan sederhana yang mengajarkan: tidak semua masa depan harus digital, sebagian bisa tetap berakar pada irama tradisi.

 

 

Simak rasioo.id di Google News

 

Komentar