Saat Seisi Dunia Jadi Wartawan, Wartawan Menjadi Apa?

 

Aena, teman se’pengopi’anku melontar teka-teki menjebak. Dia bertanya, “Seandainya seluruh isi dunia ini, lautan, gunung, gedung bertingkat, sepeda motor, becak, bus kota, dan semua-semua ‘makhluk’ menjadi sapi, lalu sapi menjadi apa?”.

Dengan dahi mengerenyit aku menjawab pertanyaan kekanak-kanakan itu. “Sapi menjadi gunung, atau bisa jadi gedung,”

“Salah” Aena mematahkan jawabanku.

“Jadi bus kota atau jadi becak,”

“Salah,” katanya sekali lagi.

Aku menyerah untuk menyudahi pertanyaan tidak berfaedah itu. Tapi, aku juga penasaran dan menuntut jawaban yang menurut dia benar.

“Jawabannya, sapi menjadi banyak,” Aena lalu tertawa. Tawanya terbahak dan menular. Aku jadi ikut ketawa menertawakan ketawanya.

Pertanyaan dan jawaban soal sapi dan isi dunia yang menjadi sapi, aku anggap remeh. Tapi, lelucon demikian terkadang memang nyata adanya, setidaknya di satu bidang yang banyak orang ingin menjadi atau merasa penghuninya.

Dalam realitas keseharian, terkadang kita ingin menjadi sesuatu yang bukan kita. Menjadi tanpa menjadi. Melabeli sesuatu bukan pada produknya. Sehingga sesuatu menjadi banyak, dan kita sulit membedakan mana yang sapi beneran atau sapi jadi-jadian.

Dalam konteks, Hari Pers Nasional (HPN) atau hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Apa yang ditanyakan Aena soal sapi dan isi dunia menjadi sapi, mengusik benakku soal realitas wartawan dan ‘isi bumi’ yang menjadi wartawan.

Kalau semuanya menjadi wartawan, lalu wartawannya menjadi apa? Jelas dan pasti ‘wartawan’ jadi banyak. Masalahnya adalah mana yang wartawan sebenarnya wartawan, atau (meminjam lelucon semua jadi sapi), sepeda motor, becak, bus kota menjelma menjadi wartawan.

Dalam keadaan semuanya sudah menjadi sepertinya, yang nyata menjadi samar-samar penampakannya. Bisa dibedakan, tapi sulit dipisahkan. Barangkali juga itu terjadi pada profesi yang lain.

Sayang, Aena lupa bertanya, bagaimana perasaan sapi saat seisi dunia ingin dijadikan seperti dirinya. Karena kealfaan Aena menyoal itu, Kita jadi kurang memahaminya.

Tapi, barangkali, sapi juga tidak merisaukan soal itu, karena sesuatu yang bukan aslinya tidak akan pernah menjadi yang sebenarnya. Dia juga tidak perlu memeriksa dirinya apakah dia sapi beneran atau sesuatu yang lain yang menjelma menjadi sapi.

Karena sesuatu yang hakikat tidak akan pernah ada kesamaaannya. Bahkan bayi kembar siam sekalipun adalah dua makhluk yang pasti ada pembedanya. Bisa serupa tapi tidak akan pernah sama.

Bukan begitu, bukan?

 

 

Saeful Ramadhan

Penikmat Kopi Rujukan

 

 

Lihat Komentar

2 komentar