Kisah Sukarna Natawirya, Pelestari Seni Budaya Sunda di Bogor yang Lahir di Yogyakarta (1)

 

E Sukarna Natawirya memang lahir di Jogjakarta, tapi pria berusia 75 tahun itu boleh dibilang lebih sunda bahkan dari orang sunda sekalipun. Sukarna melestarikan seni budaya sunda dari tarian hingga berbagai alat musik. Di Saung Komara Sunda yang merupakan peninggalan sang Ayah, Sukarna mengajarkan kesenian tersebut kepada anak-anak dengan menanamkan filosopi kehidupan. Sejak 1970 hingga sekarang, Sukarna masih bersemangat “menyundakan” Bogor dengan apa yang dia bisa. Menurut dia, seni dan budaya adalah bagian penting untuk menghidupkan “kemanusiaan” dalam pembangunan.

RASIOO.id – Di antara Gang sempit di Jalan Kebun Kaung, Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ramat-ramat terdengar merdu suara alat musik karawitan dari satu rumah berukuran tak terlalu besar. Puluhan peserta kursus tari nampak berkonsentrasi menyesuaikan gerakan agar harmonis dengan bunyi musik yang keluar. Sesekali Sukarna mengoreksi sambil menjelaskan apa maksud dari tiap gerakan. Sukarna berpandangan, seni bukan sekedar hiburan, tapi memuat etika, moral dan nilai-nilai kehidupan lainnya.

Sukarna Natawirya begitu menaruh perhatian terhadap seni klasik. Maklum, pria kelahiran Yogyakarta 12 Mei 1949 tersebut tumbuh besar di lingkungan yang sangat menghargai nilai-nilai kesenian. Bakat Sukarna di bidang seni memang sudah terasah sedari kecil. Ayah Sukarna abdi negara dengan pangkat terakhir Komisar Besar Polisi juga pelestari budaya dan mendirikan Sanggar Komara Sunda yang saat ini diwariskan kepadanya. Sukarna mengaku mendapat banyak pelajaran dari sang Ayah soal bagaimana menjaga nilai-nilai kesenian.

Lahir di Yogyakarta, Sukarna menghabiskan masa kecilnya di Bandung, Jawa Barat. Dia mengenyam pendidikan di Konversatori Karawitan Bandung. Kata Sukarna, pendidikan di sekolah tersebut punya standar sangat tinggi. Jika ingin naik tingkat peserta didik harus menguasai seni tari dan pandai memainkan berbagai jenis alat musik tradisional. Bukan hanya tarian dan alat musik sunda, tapi siswa harus bisa memainkan tari dan alat musik daerah lain, seperti Bali, Jawa. Harus juga bisa memainkan kecapi suling, rebab dan alat musik lainnya.

“Jadi angkatan saya pertama masuk itu jumlahnya 42 orang, baru pertengahan sudah keluar 15 orang, lalu keluar lagi 12 orang, akhirnya hanya tinggal sembilan orang yang lulus,” kata Sukarna, akhir Mei 2024 sambil menceritakan masa-masa mengenyam pendidikan seni di Sekolah tersebut.

 

Baca Juga: DPRD Kabupaten Bogor bagikan sejumlah penghargaan di peringatan HJB ke-542

 

Sukarna menjadi salah satu dari sembilan orang lulusan Konsversatori Karawitan Bandung pada tahun 1969. Dia berhasil menguasai berbagai jenis tarian dan juga memainkan alat musik. Sukarna bangga karena mendapat nilai nyaris sempurna dari semua pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Kata dia, perolehan nilainya yang boleh dibilang paling rendah adalah memainkan alat musik rebab. Tapi itu pun tidak jelek-jelek amat.

“Ya sekitar 7,5, tapi kalau (pelajaran) yang lain, bagus semua,” kata dia.

Prestasi akademiknya di bidang seni tari dan musik membuat Sukarna “digoda” pihak Sekolah untuk menjadi Guru Tari dan Karawitan di Konversatori Bandung. Namun, Sukarna nampaknya lebih cenderung ingin menjadi praktisi, dengan halus dia menolak tawaran tersebut. Dia berasalan, tak ingin mengajar karena ada gadis jelita di sekolah itu yang menjadi tambatan hatinya.

Lantas, pada 1970 sembilan lulusan Konversatori Karawitan, termasuk Sukarna diminta oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Mereka disebar ke sejumlah daerah dan Sukarna kebagian tugas Kabupaten Bogor. Dia menginjakan kakinya di Bumi Tegar Beriman sebagai guru seni dan budaya di SMPN 1 Cibinong. Di sekolah itu, Sukarna mengamalkan ilmunya dengan mengajarkan berbagai keterampilan menari dan kepandaian bermain alat musik daerah.

Tiga setengah tahun mengajar, Sukarna Natawirya dipanggil Bupati Bogor saat itu Wissatya Sasemita. Sukarna diminta membentuk tim kesenian Kabupaten Bogor untuk mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) di Provinsi Jawa Barat. Sukarna menyanggupi, dia mengumpulkan 120 anak yang sebagian besar adalah muridnya untuk mengikuti ajang bergengsi tersebut.

Di antara 120 orang itu, kata Sukarna, ada Betharia Sonatha yang merupakan murid angkatan pertama yang dia ajarkan. 120 anak itu dibagi-bagi untuk mewakili Kabupaten Bogor untuk lomba berbagai kategori seni, dari mulai tari, rampak, pupuh, dan sebagainya. Di masa itu, kata Sukarna lomba kesenian sangatlah meriah dan membentuk kabaret atau rangkaian. Sukarna bertindak layaknya Sutradara untuk Kabupaten Bogor di Porseni Jawa Barat.

Walhasil, Kabupaten Bogor keluar sebagai juara umum di ajang tersebut. Kebanggaan bagi Pemkab Bogor, juga kebanggaan bagi peserta yang berkontribusi di ajang itu. Berkah juga bagi Sukarna, prestasinya mengantar Kabupaten Bogor meraih hasil gemilang itu membuka jalan karir masa depannya. Sukarna diangkat oleh Bupati Bogor menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sebagai aparatur, Sukarna mencetak lagi sejarah membanggakan untuk Bumi Tegar Beriman. Dia dipercaya oleh Bupati untuk mengurus seni dan budaya se Kabupaten Bogor hingga pensiun.

E Sukarna Natawirya menunjukan sejumlah dokumentasi pengalamannya dalam berkesenian. Foto: rasioo.id

 

 

 

Simak rasioo.id di Google News

Lihat Komentar