E Sukarna Natawirya gelisah hatinya melihat semakin sempit ruang apresiasi seni dan budaya sunda di Kabupaten Bogor. Kesenian Sunda tak banyak lagi diajarkan di sekolah. Kalaupun ada sebagai muatan lokal untuk diajarkan kepada siswa, jumlahnya amat sedikit dan jauh dari kata “berkualitas”. Kata Sukarna, Guru kesenian di sekolah-sekolah yang menguasai seni klasik baik tarian maupun alat musik khas sunda sudah sangat langka. Lalu, bagaimana bisa kesenian kemudian diajarkan dan kemudian dibanggakan?
RASIOO.id – Kegelisahan Sukarna Natawirya terhadap merosotnya berbagai hal soal kesenian sunda di Kabupaten Bogor amatlah wajar. Bisa jadi, perasaan serupa juga dialami banyak orang yang memilki romantisme masa-masa kesenian begitu diapresiasi dan menjadi bagian dalam upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Tapi, lain dulu beda sekarang. Kesenian hari ini banter-banter hanya dijadikan jargon untuk seolah-olah menunjukan rasa cinta terhadap daerah, kadang juga untuk jadi pelengkap seremonial untuk membuat pejabat “atasan” merasa di-raja-kan. Kenyataan miris kesenian sunda di Kabupaten Bogor makin terpinggirikan. Sukarna yang pernah hidup di era gairah berkesenian, amat terpukul merasakannya.
“Kalau dulu, lomba kesenian itu jadi rangkaian, ada tarinya, ada rempaknya, pupuh, ada sandiwara, semacam kabaret,” kata Sukarna, akhir Mei 2024, di Sanggar Komara Sunda, Jalan Kebon Kaung, Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Tapi sekarang, kata Sukarna, lomba kesenian di Kabupaten Bogor amat terbatas. Kalaupun diselenggarakan, kata dia, sangat miskin kontennya. Paling-paling hanya lomba pupuh, atau hanya lomba tari. Kesenian tari pun semakin jauh dari pakem-pakem yang dipertahankan para pendahulu.
“Padahal, pakem-pakem dalam seni klasik itu memiliki filosopi yang amat dalam,” imbuh dia.
Sebagai seniman yang menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan tari dan karawitan, Sukarna merasa tak bisa situasi ini dibiarkan. Karena itu, dibantu anak-anaknya Deviana (sarjana seni tari) dan Muhammad Ifan (sarjana seni musik), Sukarna mempertahankan eksistensi Sanggar Komara Sunda yang merupakan peninggalan orang tuanya. Di sanggar itu, ratusan anak-anak belajar berbagai kesenian mulai dari Pupuh, suling, kawi, gamelan, tari klasik, jaipongan dasar, hingga tarian nusantara.
Sanggar Komara Sunda dibawah binaan Sukarna yang lulusan Konservatori Karawitan Bandung itu, mempertahankan seni klasik untuk diajarkan kepada generasi muda. Modernisasi gerakan maupun permainan alat musik, kata Sukarna, tidak boleh lebih dari 50 persen. Sukarna mengakui, kesenian memang terus berkembang. Namun, kata dia, produk kesenian harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya untuk kebaikan manusia tapi juga tanggung jawab kepada sang Maha Pencinta, Tuhan Yang Maha Esa.
“Itu amanat dari Guru Saya,” tegas Sukarna.
Tidak mudah mempertahankan eksistensi Sanggar, kata Sukarna, Dia bahkan berkelakar, siapa-siapa yang tidak mau berkorban tenaga, pikiran, maupun materi, jangan coba-coba menjadi pimpinan Sanggar. “Biaya operasionalnya besar,” Sukarna menambahkan.
Baca Juga: Kisah Sukarna Natawirya, Pelestari Seni Budaya Sunda di Bogor yang Lahir di Yogyakarta (1)
Pentakara – Pasanggiri dan Kehendak Pemerintah
Sukarna tak puas hanya “mengamalkan” ilmunya di Sanggar yang ukurannya tak terlalu besar. Merosotnya kualitas pengajaran kesenian di sekolah membuat Sukarna merasa harus berbuat sesuatu.
Bagi Sukarna, keberhasilan dalam pembelajaran, salah satu kunci utamanya adalah guru. Karena itu, Sukarna dengan sebatas kemampuannya ingin meningkatkan kemampuan guru kesenian di sekolah-sekolah. Program tersebut ia namakan Pentakara yang merupakan singkatan dari Penataran Tari dan Karawitan.
Pentakara berjalan dari swadaya antara Sanggar Komara Sunda dengan guru-guru yang mengikuti penataran. Belum ada bantuan dari pemerintah, juga tidak dari Dinas Pendidikan. Sukarna mengatakan, pihaknya mengajak Disdik Kabupaten Bogor bekerjasama saat dipimpin Tb Luthfie Syam, kepala dinas yang dulu pernah menjadi muridnya di sekolah.
“Untuk memudahkan, supaya guru-guru ini diizinkan,” kata dia.
Pentakara yang diinisiasi Sanggar Komara Sunda kini telah memberi penataran kepada 422 guru kesenian dari berbagai sekolah. Setidakya, kata Sukarna, guru-guru yang pernah mendapat penataran, kini bisa mengajarkan sekedar gerakan tari dasar, dan memainkan alat musik.
Sukarna ingin Pentakara terus berjalan. Bahkan Dia berharap, Pemerintah Kabupaten Bogor turut membantu agar program ini bisa menyebar untuk guru kesenian sekolah se Kabupaten Bogor.
Melihat hasil penataran ini, Sukarna mulai kembali optimis kesenian daerah sunda bisa menggema lagi di Bumi Tegar Beriman. Tapi, kata dia, perlu ada kehendak politik dari pemerintah daerah. Menurut Sukarna, sampai hari ini, perhatian pemimpin daerah terhadap hal itu masih sangat-sangat kecil.
“Coba yah kalau kita lihat di Jawa, orang jawa ngomongnya bahasa jawa, Bali juga begitu. Tapi orang Sunda, lihat saja sendiri,” kata Sukarna sambil mengelus-elus dadanya.
Kenapa hal demikian bisa terjadi, menurut Sukarna, para pegiat kesenian tidak bisa berjalan sendirian. Pemerintah, kata dia, memainkan peranan penting. Salah satunya, menjadikan pendidikan kesenian dan berbagai kekayaan budaya daerah sebagai bagian penting pendidikan di sekolah.
Pemerintah, kata Sukarna, juga harus membuka ruang seluas-luasnya untuk apresiasi terhadap kesenian dan menjadikan bagian tak terpisahkan dalam mewujudkan cita-cita pembangunan.
Sukarna yakin jika Pemerintah Kabupaten Bogor melakukan “kewajiban” itu, kekayaan seni dan budaya sunda akan semarak dan menjadi bagian dalam keseharian hidup masyarakat.
Pada gilirannya, seni dan budaya akan menjadi daya ungkit gairah dan rasa cinta serta bangga masyarakat terhadap daerahnya dan terdoronglah untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan yang dicita-citakan.
Dengan kerjasama antara pegiat seni budaya dan pemerintah, Sukarna juga berharap pagelaran seni budaya sunda di Kabupaten Bogor bisa diselenggarakan dengan semarak.
Sukarna memimpikan bisa menyelenggarkan Pasanggiri atau even yang melombakan berbagai kesenian sunda mulai dari pupuh, tari, rampak, kawi dan lain-lainnya. Sukarna mengatakan, 422 guru yang telah mengikuti Pentakara, rasa-rasanya siap mengirimkan peserta.
“Kalau 50 sekolah saja yang ikut, itu sudah sangat bagus sekali,” tandas dia.
Simak rasioo.id di Google News