Ketika semua orang bersuara dan berteriak tidak ada seorangpun dapat disebut sebagai pemberani-
namun saat semua diam dan ada yang berbisik dialah pemberani sejati
Untaian kata di atas adalah ‘sabda’ Mochamad Djonansyah, seniman yang karib disapa Sawung Jabo. Jabo memotret paradoks dalam realita itu, untuk mengomentari beberapa buku yang mengulas karya-karya Iwan Fals, sahabat karibnya.
Bersama ‘swami’ dan Kantata Takwa, perkumpulan seniman kondang di era 70 sampai 90-an ini melahirkan karya-karya monumental. Sentuhan WS Rendra, Jockie Surjoprajogo, Setiawan Djodi, dan beberapa seniman yang sempat tergabung dalam grup musik tersebut memadukan sajak, puisi, harmoni musik, dan teatrikal untuk memeriksa keadaan dan melontar soal-soal kehidupan yang harus dijawab. Kritis, berani dan optimistik!.
‘Sabda’ Jabo yang mengetengahkan arti keberanian kepada orang yang mengingini citra diri sebagai pemberani patut untuk kita ketengahkan lagi di zaman ini. Kerap kali kita, orang pribadi atau kelompok bertindak atas nama keberanian dengan mengharap-harap penilaian sebagai si pemberani.
Bahkan, kita membumbui dengan dalil-dalil cinta untuk mendapat permakluman tindakan. Sesekali, atau seseringkali kita juga meminta tuhan ikut ‘mensponsori’ perbuatan berani yang kita lakukan dengan maksud baik sebagai kata alasan.
Kata Rendra, kita harus memeriksa keadaan dan lalu kita bertanya, kenapa maksud baik tidak selalu berguna. Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”
Rendra mengetengahkan nilai. Karena tindakan merupakan pengejawantahan dari nilai apa yang kita perjuangkan. Apakah kita setulusnya membela nilai-nilai kehidupan, atau pamrih agar kita dikategorikan sebagai sosok manusia bernilai.
Teori ‘pencitraan’ bisa saja menjadi apologi pamrih bisa dikedepankan. Syaratnya, tindakan dengan modus pamrih itu tidak merusak nilai-nilai kehidupan. Tetapi, dalam konteks keberanian sejati sebagaimana yang di ‘dawuh’ kan Sawung Jabo, pamrih tidak akan pernah menjadi nilai utama, atau bisa saja dianggap ‘objek’ tidak terlalu bernilai.
Seorang pejabat atau sekelompok orang pejabat yang memiliki otoritas di satu lingkungan mengatakan program-programnya adalah untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Mereka akan dan berani melakukannya. Pertanyaannya, keadaan apa?, dan kebaikan untuk siapa?.
Jika program dilaksanakan dan malah membuat keadaan menjadi semakin kacau, maka kita bisa berasumsi atau mungkin menuduh, mereka salah membaca keadaan. Kita juga bisa mencurigai mereka tidak berpihak pada kehidupan tapi kebaikan untuk semata diri dan kelompoknya. Jika demikian menjadi keadaannya, maka tidaklah pantas mereka disematkan sebagai sosok-sosok pemberani. Yakin seribu yakin, kita tidak akan rela!.
Di bagian lain, sekelompok remaja mengatasnamakan keberanian dengan berkeliaran sambil menenteng-nenteng senjata tajam di jalanan. Mereka beralasan ingin membuktikan diri sebagai sosok pemberani. Minimal, pengakuan itu ia dapat dari kelompoknya atau pengakuan kelompok lainnya, bahwa dia eksis di kalangan kelompok pemberani.
Keberanian yang diterapkan di kelompok brutal itu pada hakikatnya bukanlah keberanian tapi kenekatan. Sejatinya, mereka sedang sangat ketakutan. Takut dibilang tidak berani, takut tidak diakui oleh kelompoknya, dan ketakutan-ketakutan besar lainnya. Potensi keberanian yang ada pada dirinya tidak mampu digunakan untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu. Atas nama keberanian kemudian mereka menyembunyikan rasa takut yang alasannya tidak dapat diterima akal sehat.
Meskipun, objek atau masalah yang kita hadapkan pada keberanian itu memang layak untuk kita perjuangkan. Tetapi, sesekali boleh juga kita mengorek lagi apa soalnya dan keberanian seperti apa yang layak diterapkan untuk menghadapinya.
Dengan demikian, nampak jelas, bahwa kita harus memeriksa lagi tindakan yang kita anggap sebagai sebuah keberanian dan memaknai lagi nilai-nilai yang universal.
Seperti dikatakan Buddha, pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak akan meninggalkan bendanya.
Seseorang yang mendapatkan pengetahuan dengan mengerti nilainya, pasti hebat dalam bidangnya, tapi seseorang yang menginginkan pengetahuan untuk mendapat sesuatu, akan terus bersaing dalam hidupnya untuk membuktikan dia yang hebat, tapi dia tidak akan pernah menjadi hebat – Basudewa Krisna
Kita juga tidak perlu merepotkan diri mengejar jauh-jauh gelar pemberani. Karena sejatinya keberanian menuntut tindakan dari dalam. Keberanian bukan melakukan segala hal untuk membunuh rasa takut.
Sayyidina Ali bin Abu Thalib radiallahu anhu mengatakan, keberanian seseorang sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat.
Memahaminya tidak sesulit melakukannya bukan?
Saeful Ramadhan
Penikmat Kopi Rujukan