Bekas Kota Pakuan yang sunyi tanpa penghuni saat pertama kembali ditemukan menyulut rasa ingin tahu banyak pihak.
Mengapa bisa begitu?
RASIOO.id – Sekitar satu abad setelah “Pajajaran sirna”, sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Scipio menemukan kembali bekas Kota Pakuan pada tahun 1867. Namun, apa yang ditemukan hanyalah puing-puing yang tersembunyi di balik hutan tua yang lebat, seolah alam telah menyapu jejak masa lalu.
Kondisi ini teramat ganjil, karena ketika masih berpenduduk, Bogor adalah kota kedua terbesar di Indonesia pada masanya, setelah Demak yang berpenduduk 49.197 jiwa, dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23.121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.
Dengan populasi sekitar 48.271 jiwa, Kota Pakuan menjadi gambaran kemegahan yang pudar, hanya tinggal kenangan dalam sejarah.
Analisa para peneliti mengemuka kemudian. Kuat dugaan, kehidupan di Pakuan meredup seiring berakhirnya masa keemasan. Setelah raja meninggalkan ibukota, Kota Pakuan kehilangan pamornya sebagai pusat pemerintahan. Meskipun Panembahan Yusuf dari Banten secara resmi mengakhiri masa kekuasaan Raga Mulya di Pulasari, kehidupan di Pakuan telah meredup sebelumnya.
Ketika penduduk setempat membawa Scipio ke bekas Kota Pakuan pada tahun 1987, mereka menjadi saksi pertama setelah satu abad terpisah dari warisan leluhur mereka. Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio pada 1 September 1987, menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singggasana raja. Kesaksian mereka adalah awal dari upaya untuk menghidupkan kembali ingatan akan masa lalu yang terkubur.
Dalam catatan tahun 1703, Abraham van Riebeeck mencatat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di bekas Kota Pakuan. Ini menandakan bahwa meskipun terpisah dalam waktu, orang-orang merasa “bertemu kembali” dengan bagian penting dari sejarah mereka.
Pada tahun 1709, tanda-tanda kehidupan baru mulai muncul di lereng Cipakancilan. Ladang baru muncul, menandakan bahwa kehidupan kembali memenuhi ruang yang kosong.
Baca Juga: Menelusur Asal Nama Bogor, Pantun Pacilong hingga Wangsit Prabu Siliwangi
Gagasan tentang kehidupan baru di Pakuan mencuat, tetapi kerajaan yang pernah megah tidak akan kembali. Hal ini tercermin dalam puisi dan babad yang menjadi saksi bisu dari masa lalu gemilang.
“Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran, Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan”.
(Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran, Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan)
Meskipun begitu, rasa dekat dengan Pajajaran tidak pernah hilang. Masyarakat setempat menciptakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem, mengungkapkan harapan bahwa suatu saat Kota Pakuan akan kembali berdiri megah seperti dulu.
“Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun” (Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang). Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata: “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
Dalam perjalanan menuju penemuan kembali Kota Pakuan, kita belajar bahwa sejarah tidak selalu tentang bangunan dan kekayaan materi. Lebih dari itu, ia tentang ingatan, harapan, dan kerinduan akan masa lalu yang membentuk identitas dan makna bagi generasi yang datang. Semoga dengan mengungkap misteri ini, kita dapat menghargai dan merawat warisan budaya kita untuk masa depan yang lebih baik.
Simak rasioo.id di Google News