Menelusur Asal Nama Bogor, Pantun Pacilong hingga Wangsit Prabu Siliwangi

Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh
laju ngaranan Bogor
sabab bogor teh hartina tunggul kawung


Ari tunggul kawung
emang ge euweuh hartina
euweuh soteh ceuk nu teu ngarti

 

Ari sababna, ngaran mudu Bogor
sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung
teu melepes tapi ngelun
haseupna teu mahi dipake muput

Tapi amun dijieun tetengger
sanggup nungkulan windu
kuat milangan mangsa

Amun kadupak
matak borok nu ngadupakna
moalgeuwat cageur tah inyana

Amun katajong?
mantak bohak nu najongna
moal geuwat waras tah cokorna

Tapi, amun dijieun kekesed?
sing nyaraho
isukan jaga pageto
bakal harudang pating kodongkang
nu ngawarah si calutak

Tah kitu!
ngaranan ku andika eta dayeuh
Dayeuh Bogor!

[Pantun Pa Cilong, “Ngadegna Dayeuh Pajajaran”]

 

 

RASIOO.idPantun berbahasa Sunda itu jika diterjemahkan “Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota
lalu beri nama Bogor, sebab bogor itu artinya pokok enau.
Pokok enau itu
memang tak ada artinya, terutama,bagi mereka yang tidak paham)

Sebabnya harus bernama Bogor?
sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala
tapi tidak padam, terus membara, asapnya tak cukup untuk “muput”

Tapi kalau dijadikan penyangga rumah mampu melampaui waktu sanggup melintasi zaman

Kalau tersenggol bisa membuat koreng yang menyenggolnya membuat koreng yang lama sembuhnya

Kalau tertendang? bisa melukai yang mendangnya, itu kaki akan lama sembuhnya

Tapi, kalau dibuat keset?
Semuanya harus tahu, besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran, menasehati yang tidak sopan.

Begitulah, beri nama olehmu itu kota Kota Bogor

 

 

Pantun di atas dikenal dengan nama pantun Pak cilong atau Pa Cilong juga biasa di sebut Pacilong. Pantun yang diberi judul ‘Ngadegna Dayeuh Pajajaran’ ini, dianggap oleh sebagian kalangan sebagai dasar yang paling kuat tentang kenapa nama kota itu dinamakan “Bogor”. Setidaknya, sampai saat ini ada empat pendapat tentang asal nama Bogor.

Pendapat pertama, ‘Bogor’ berasal dari salah ucap orang Sunda untuk “Buitenzorg” yaitu nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda. Ada juga pendapat,  “Baghar atau baqar” yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi. Pendapat lainnya, “Bokor” yaitu sejenis bakul logam tanpa alasan yang jelas. Dan pendapat terakhir,  Bogor yang artinya “tunggul kawung” (enau atau aren), yang bersumber dari pantun Pacilong.

Pak Cilong atau Pacilong menurut cerita ialah nama seseorang yang pertama kali ‘babat alas’ alias membuka daerah Kebon Pedes menjadi suatu perkampungan. Hinga saat ini, belum ada literatur yang jelas mengenai profile tokoh tersebut. Cerita ketenaran Pak Cilong muncul dari cerita warga perkampungan Pacilong di daerah Kebon Pedes. Pak Cilong sebagai ahli pencak yang melindungi warga Kampung dari gangguan jawara-jawara di masa itu. Nama beliau juga kondang sebagai penulis pantun sunda.

 

Budayawan Bogor, Karyawan Faturachman mengatakan, pendapat soal pantun Pacilong sebagai muasal nama Bogor sah-sah saja sebagai upaya penelusuran sejarah. Namun, kata dia, pantun tersebut tidak cukup untuk dijadikan literasi sejarah, melainkan hanya sebagai produk sastra. Menurutnya literasi sejarah bisa diakui ketika ada bukti otentik berupa naskah dan peninggalan-peninggalan di masa itu seperti tulisan naskah yang dipahat di batu, pelepah pohon, kulit binatang, lempengan logam dan lain sebagainnya.

“Misalnya, seperti prasasti Ciaruteun, batu tulis dan Kitab siksa kandang karesian. Sementara, pantun Pacilong hingga kini belum atau tidak ditemukan naskah aslinya,” kata dia.

Karfat menambahkan, pada tiga tahun yang lalu sempat diadakan acara Sundaland Ethnomusic Festival yang mencoba mengangkat makna dari wangsit Siliwangi. Dalam forum tersebut, diungkapkan bahwa pantun pacilong menjadi sumber dari naskah Wangsit Siliwangi. Wangsit Siliwangi pun yang dianggap sebagai amanat prabu siliwangi itu, ternyata ditulis oleh budayawan yang juga sastrawan, Iwan Dharmasetiawan Natapraja pada dekade 80-an. Klaim ini diumumkan langsung saat dia menjadi pembicara di acara tersebut.

“Jadi wangsit siliwangi bukan tulisan raja. Tetapi, produk atau karya sastra yang dibuat oleh sastrawan di dekade 80-an,” katanya.

Pengakuan ini, bisa jadi benar. Karena, selain tidak ada bukti otentik berupa manuskrip atau prasasti yang menguatkan, bahasa yang digunakan dalam penulisan wangsit siliwangi tersebut, juga sudah menggunakan bahasa sunda modern. Sementara, di era masa kerajaan Pajajaran, bahasa yang digunakan adalah bahasa sunda kuno. Buktinya, antara lain naskah pada sejumlah prasasti, misalnya prasasti batu tulis. Argumen ini sekaligus membantah, pantun pacilong yang menyebut tunggul kawung sebagai muasal nama Bogor.

Karfat justru mempertanyakan, siapa orang yang pertama kali mencuatkan nama Bogor berasal tunggul kawung di pantun pacilong. Menurut dia, argumen tersebut terlalu sempit untuk dijadikan dugaan intelek sejarah Bogor yang begitu luas. Karena itu, Karfat meminta, agar pendapat tersebut dikaji ulang dengan kaidah-kaidah disiplin keilmuan sejarah. “Harus dikaji lagi dan diseminarkan agar masyarakat mendapat pencerahan. Kalau wangsit sudah jelas itu produk sastra era 80-an, kalau pantun harus dibandingkan dengan karya pantun pada zamannya,” kata dia.

 

Bukti Otentik

Lihat Komentar