Kata Temanku, Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Lebih Cocok untuk Perokok

 

Suatu hari, kawanku mengunggah foto yang bikin keningku berkerut: dia sedang berbagi api untuk menyalakan rokok dengan temannya. Tak cukup dengan gambar yang dramatis itu, dia menambahkan caption yang lebih mengejutkan, “Pahlawan tanpa tanda jasa kini adalah perokok, karena guru sudah pamrih dengan sertifikasi.” Lho, kok bisa-bisanya begitu? Pikiran langsung melompat-lompat dari persoalan rokok sampai ke isu sertifikasi guru, tapi… apa hubungannya?

 

Oleh: Saeful Ramadhan

Temannya, temanku

 

 

RASIOO.id – Gegara pertanyaan seremeh itu, aku mengalami pengurangan berat badan dua kilogram dan juga bertambah kerutan, lantaran gak nafsu makan, juga gak nyenyak  tidur.

Di tengah keruwetan ini, aku jadi ingat W.S. Rendra. Penyair legendaris ini juga pernah ikut dalam perdebatan soal tembakau dan rokok kretek. Pada 2009, dia jadi saksi ahli di sidang MK, dan dengan gaya puitisnya, dia bercerita panjang lebar tentang sejarah tembakau di Indonesia.

Menurut Rendra, tembakau itu awalnya tanaman asing yang dipaksakan Belanda untuk memperkuat industri mereka. Tapi, dasar orang Indonesia yang serba kreatif, tembakau di tangan kita diolah jadi rokok kretek, campuran tembakau dan cengkeh yang tak hanya harum, tapi juga jadi bagian dari identitas bangsa.

“Kretek ini, ya,” kata Rendra, “adalah bukti daya adaptasi kita. Kita bisa mencampur tembakau dengan cengkeh, lalu menjadikannya sesuatu yang bernilai ekonomi dan budaya tinggi.”

Dan betul juga, bahkan di masa krisis moneter, industri rokok kretek bertahan dengan gagah. Semua bahan bakunya dari dalam negeri, mulai dari tembakaunya, cengkehnya, hingga saus rahasia yang bikin rokok ini punya cita rasa khas. Konsumennya juga, ya, kita-kita ini, orang Indonesia. Bener-bener lokal punya!

Kalau dilirik dari kacamata ekonomi, perokok sebagai konsumen tanpa pamrih, menjaga industri rokok dalam negeri tetap berjalan, karyawan dan petani tembakau juga bisa gajian. Rokok menyumbang pendapatan negara, sekaligus menciptakan lapangan kerja.

Dari kretek, Rendra seolah mengajak bangsa ini untuk belajar segala hal soal kemandirian. Menurut dia, sejak era kolonial sampai sekarang, bangsa ini benar-benar ditekan kekuatan asing. Industri yang dibangun berorientasi pada kepentingan luar negeri, bahan, baku, dan teknologi semuanya impor. Padahal, kata Rendra, negara ini kaya raya, yang menyuplai bahan mentah untuk mereka-mereka.

Rendra juga mengajak kita melihat peristiwa tidak melulu dari satu kacamata. Dia mengajak kita melihat tembakau dari kacamata budaya, sekaligus mengajak orang-orang kesehatan tidak mengambil kesimpulan begitu bulat bahwa tembakau dan rokok kretek adalah sumber terbesar masalah kesehatan.

“Kalau alasannya kesehatan, bukankah junk food jauh lebih berbahaya?” kata dia.

Pada bagian ini, memang kelihatannya, ya, pemerintah bereaksi biasa aja!

 

Baca Juga: Liburnya Orang Kecil dengan Cicilan Besar: Sebuah Kisah Tanpa “Healing”

 

Balik lagi ke temanku yang menyalakan rokok tadi. Mungkin dia melihat rokok sebagai simbol keberanian melawan arus, melawan standar ganda yang sering kita temui dalam hidup sehari-hari. Atau, mungkin dia cuma ingin menikmati momen tenang, sambil merenung dan berpikir bahwa dalam hal apapun, terkadang kita semua perlu sedikit “asap” untuk melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda.

Atau mungkin temanku yang juga guru, dan menguasai strategi perang asimetri, sebenarnya sedang mengkritik dunia profesi sejawatnya. Barangkali, dia merasa sudah sulit sekali untuk menjaga kemurnian, ketulusan hati seonggok guru dengan bakti-baktinya.

Buktinya banyak yang marah-marah, karena lama sudah mengajar tapi belum mendapat tunjangan sertifikasi, dan apalagi menjadi pegawai negeri. Gegara itu juga, mereka jadi malas-malasan mengajar. Untuk hal ini, meski aku menduga-duga, aku rada takut membahasnya.

Bukankah guru bagaikan manusia suci tanpa cela. Tidak banyak, tidak juga sedikit. Lantaran begitu, janganlah coba-coba mengkritiknya!

Bisa-bisa anak kita jadi korbannya, dan gagal dapat iba hati guru-gurunya untuk menyulap nilai ujian di sekolah menjadi semuanya seratus!

 

 

 

Simak rasioo.id di Google News

Lihat Komentar