Cerita di Balik Piring: Diet, Keluh Kesah, dan Selera Elite

Tetiba temanku datang dan memamerkan berat badan. Dia cerita soal makanan hampir setengah jam lamanya. Panjang kali lebar, teori-teori diuraikan. Makanan, jelas dia, berhubungan dengan kesehatan! Benarkah?

 

Oleh : Saeful Ramadhan

Bukan jenis makanan

 

RASIOO.id – Sudah hampir sebulan tak bersua, tiba-tiba kawanku muncul dengan tubuh lebih ramping. Dulu, perutnya buncit mirip entog, sekarang sudah lebih rata. Kalau jalan, pantatnya tak lagi bergoyang-goyang macam itik pulang kandang.

“Intermittent,” ujarnya dengan bangga, saat teman yang lain memuji perubahan fisiknya.

Dia cerita panjang lebar, berat badannya turun 8 kilogram dalam 40 hari. Intermittent fasting, katanya, alias diet yang cuma mengatur waktu makan, bukan mengurangi jatah makanan. Makan sih tetap, cuma waktunya yang dipersempit.

Dengan semangat, dia ceritakan perjuangannya: dari susah payah menahan lapar di awal, sampai soal makanan yang dia konsumsi, jam makan yang ketat, dan nutrisi yang diukur setiap harinya.

Kawanku ini memang intelek. Dulu aktivis mahasiswa, kemudian jadi pimred media, kariernya moncer sampai akhirnya jadi pejabat lembaga adhoc. Sekarang, setelah pensiun, dia kembali ke dunia wartawan, tapi tanpa mobil dinas yang dulu setia menemani.

Kini naik motor lebih enak,” katanya. “Bisa selap-selip di kemacetan kota.”

Lalu dia mulai berbicara soal gizi, protein, vitamin—persis kayak profesor di fakultas kesehatan. Mendengarnya, aku merasa seperti kuliah dua semester.

Sambil mendengarkan, aku jadi ingat cerita temanku, tentang tetangga temannya. Kata temanku, tetangga temannya  sering mengeluh soal anak-anaknya yang belum makan. Pagi-pagi sudah bingung, “Besok bisa makan atau enggak, ya?

Gak kepikir menunya apa, makan dua kali sehari bagi mereka adalah barang mewah. Boro-boro mikir soal intermittent fasting. Sama sekali, nggak!

Sementara, tetangga lainnya beda cerita. Suaminya, buruh pabrik, pagi-pagi rutin berangkat kerja dengan semangat menyala-nyala.

Istrinya, dari balik gorden jendela,  dadah-dadah sambil meneriaki suaminya, “Nanti sore mau makan apa?”

Rupanya, mereka lebih beruntung, bisa mikir soal menu makan malam. Tetangga ini, dibandingkan tetangga satunya, sudah tidak khawatir soal ada nasi atau tidak. Pilihannya tinggal, mau makan apa hari ini. Kalau pakai ikan, ikan sepat atau ikan betik. Sayurnya juga milih, kangkung, bayam, brokoli, atau jenis lainnya. Organik atau besar dari pupuk kimia.

Bukan cuma itu, cara masaknya juga bisa milih, direbus, dipanggang, digoreng atau dimakan mentah-mentah!

Sementara itu, temannya temanku yang punya jabatan di pemerintahan, lain lagi ceritanya. Dia bingung bukan soal apa yang bisa dimakan, tapi lebih ke mau makan apa, di mana, dan dengan siapa. Gajinya besar, tunjangannya banyak—beberapa resmi, beberapa tidak terlalu resmi, dan beberapa lagi, yah, sama sekali tak resmi.

Bagi dia, sate bukan sekadar daging tusuk. Sate Haji Kumis dan sate PSK itu beda rasa, beda gengsi. Selera makannya muncul kalau restoran itu parkirannya penuh mobil mewah. Kalau cuma ada motor bebek atau angkot, langsung disimpulkan, “Makanan di sini pasti nggak enak.”

Lalu ada cerita dari dunia politisi dan pejabat tinggi. Bagi mereka, makan di restoran mewah adalah standar. Tapi, yang lebih rumit, mereka sering berpikir soal “makan” dalam arti yang lebih luas.

Ketika mereka berkumpul, pertanyaan yang sering muncul bukan lagi soal apa yang akan dimakan besok, tapi lebih kepada, “Besok siapa lagi yang harus kita makan?”

Golongan yang begini ini, memang takut kalau tiba-tiba peta politik jungkir balik dan mereka jadi santapan pihak lain.

Sebelum mengakhiri ceritanya, temanku yang baru datang tadi bertanya, “udah pada makan belum?”

 

Baca Juga: Bima dan Dewa Ruci: Saat Politisi Harus Belajar dari Sosok Kecil

 

 

Simak rasioo.id di Google News

Lihat Komentar