RASIOO.id – Indonesia menuju usia 100 tahun. Sebuah momen emas yang bisa menjadi batu loncatan atau malah batu sandungan. Semuanya tergantung: kita mau lari, lompat, atau malah nyungsep karena sepatu kebesaran dan lintasan yang penuh kerikil drama.
Yang pasti, tantangan di depan mata bukan main-main. Untuk jadi negara maju pada 2045, kita butuh sumber daya manusia yang bukan cuma kuat ototnya, tapi juga kuat logikanya. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat vital. Tapi pertanyaannya: apakah institusi pendidikan kita sudah siap?
Mari kita cek rapornya.
Dari SD sampai kampus, sistem pendidikan kita masih sibuk mengejar kurikulum yang gonta-ganti. Seolah murid adalah kelinci percobaan dari eksperimen demi eksperimen. Kadang fokus ke matematika, kadang ke karakter, kadang ke P5 yang masih banyak guru bingung kepanjangannya.
Sementara dunia luar sudah bicara tentang kecerdasan buatan, green economy, dan industri 5.0, sebagian sekolah kita masih ribut soal seragam, upacara, dan panjang pendek rambut siswa. Kita khawatir generasi muda akan kalah saing, padahal guru-gurunya masih rebutan WiFi di ruang guru.
Tak semua memang. Banyak sekolah dan kampus yang mulai berbenah. Tapi sistem besar kita tampaknya masih terjebak dalam paradigma lama: murid yang patuh, guru yang sakti, ujian sebagai tolak ukur segalanya. Padahal zaman kini butuh pembelajar seumur hidup, bukan sekadar penghafal materi.
Bonus demografi yang digadang-gadang sebagai anugerah, bisa berubah jadi bencana kalau institusi pendidikan tidak siap mencetak anak-anak muda yang adaptif, kolaboratif, dan punya pikiran merdeka. Dunia kerja berubah cepat, tapi banyak lulusan masih bingung: “Lulus mau kerja apa ya?”—karena sejak awal tidak pernah diajarkan mengenal potensi diri.
Indonesia punya peluang besar. Tapi peluang itu butuh fondasi kuat: pendidikan yang memerdekakan dan memberdayakan. Bukan hanya mengajarkan rumus, tapi juga mengasah nalar, rasa, dan integritas.
Menuju 2045, kita tak bisa lagi bergantung pada sistem yang “asal jalan.” Kita butuh revolusi senyap dalam pendidikan—dimulai dari ruang kelas yang lebih dialogis, kurikulum yang lebih relevan, hingga kampus yang jadi pusat inovasi, bukan sekadar tempat mengumpulkan SKS sambil cari jodoh.
Kalau pendidikan adalah kendaraan menuju masa depan, maka saatnya kita servis total mesin pendidikannya. Ganti oli kurikulum, cek rem nilai-nilai, dan pastikan supirnya juga tahu arah, bukan cuma klakson terus tapi nggak jalan-jalan.
Karena masa depan bangsa ini tak ditentukan oleh siapa presidennya lima tahun ke depan, tapi oleh siapa gurunya hari ini.
Simak rasioo.id di Google News
Very informative, thanks for sharing!