RASIOO.id — Bogor resmi genap 543 tahun. Sebuah usia yang, kalau diibaratkan manusia, sudah bisa jadi kakek buyut yang santai ngopi sambil nonton cucunya rebutan WiFi. Dan seperti biasa, ulang tahun tak lengkap tanpa perayaan. Maka, digelarlah helaran budaya dengan segala tumpahan warna, suara, dan semangat nostalgia.
Kita diajak menyusuri masa lalu, dari tarian lembut yang membuat lutut kita terasa kaku hanya dengan melihatnya, musik tradisional yang bikin kita bertanya-tanya ini alat musik atau alat komunikasi alien, pencak silat, hingga pakaian adat ala raja yang kalau dilihat betapa ribet mengenakannya, tapi penuh makna dan filosofi.
Senjata pusaka pun ikut dipamerkan, membuat kita sadar: ternyata sebelum ada netizen pedas di kolom komentar, dulu orang saling nyindir pakai keris.
Sungguh, Bogor itu kaya. Bukan cuma kaya tanah ulayat atau kaya akan isu kemacetan, tapi juga kaya akan warisan budaya yang tidak lekang oleh hujan dan lupa.
Tapi… (ya, selalu ada “tapi” di setiap pesta).
Di balik gegap gempita helaran itu, kita juga perlu duduk sejenak — bukan di atas tandu, tapi di atas realitas. Kita perlu berpikir: masa lalu memang agung, tapi masa depan belum tentu menyenangkan kalau kita hanya sibuk menoleh ke belakang.
Helaran boleh meriah, tapi jangan sampai menutupi jalan menuju masa depan. Jangan sampai pemimpin kita sibuk mengenakan busana adat, tapi lupa mengenakan akal sehat dalam mengambil kebijakan.
Jangan salah tafsir juga. Kita cinta budaya. Kita bangga punya warisan seni dan nilai-nilai luhur. Tapi kalau semua itu hanya dipajang untuk dipuja-puji, tanpa makna, tanpa keberlanjutan, ya sama saja seperti hiasan di ruang tamu yang hanya dibersihkan pas Lebaran.
Pemimpin hari ini bukan raja. Bukan juga influencer yang hanya muncul pas lagi viral. Pemimpin hari ini adalah rakyat yang diberi mandat, bukan kekuasaan absolut. Dulu mungkin raja tinggal tunjuk, langsung rakyat kerja rodi. Sekarang? Rakyat bisa tunjuk juga, tapi pakai jempol — di bilik suara dan di media sosial.
Maka, nilai-nilai masa lalu yang sakral, filosofis, dan menawan itu, harus bisa dikemas ulang agar cocok dengan zaman. Bukan dilestarikan untuk jadi museum hidup, tapi diadaptasi untuk memecahkan masalah kekinian: stunting, macet, pengangguran, metode pendidikan anak-anak kita yang gak jelas juntrungannya, bahkan visual polusi dari spanduk yang lebih banyak dari daun-daun pohon.
Seni budaya bukan sekadar alat pelipur lara atau alat selfie massal. Ia harus jadi semacam kompas moral — penunjuk arah agar kita tak nyasar di rimba modernitas.
Jadi selamat ulang tahun, Bogor. Semoga panjang umur, dan jangan cuma jadi tua — tapi juga bertambah bijak. Dan kepada para pemimpin yang ikut kirab budaya, jangan hanya mewarisi songket dan kujang… warisilah juga amanah dan kerja nyata.
Simak rasioo.id di Google News