Santri yang Merunduk di Tengah Bonus Demografi

 

Oleh: Saeful Ramadhan

 

 “Bonus demografi boleh jadi milik semua,
tapi adab, hanya dimiliki mereka yang tahu caranya merunduk sebelum melangkah.”

 

RASIOO.id – Ada satu pemandangan yang sering bikin orang kota bingung, seorang santri, entah di pesantren mana, berjalan pelan sambil menunduk, lalu dengan penuh takzim mencium tangan kiainya.

Tak cukup sekali. Kadang dua kali, tiga kali.
Seakan tangan itu bukan tangan manusia biasa, tapi tiket langsung menuju rahmat Tuhan.

Nah, pemandangan yang bagi kalangan pesantren adalah bagian dari adab dan cinta, rupanya bagi sebagian orang televisi dianggap… “berlebihan”.

Beberala waktu lalu, salah satu stasiun TV swasta nasional bahkan menayangkan dengan  “nyinyir”, seolah sikap hormat itu sesuatu yang aneh di zaman serba cepat ini.

Lucu, memang. Tapi lucunya getir.
Sebab di saat santri disindir karena mencium tangan gurunya, di banyak sekolah umum malah muncul fenomena sebaliknya: murid yang mencubit guru, orang tua yang menggugat sekolah, dan siswa yang memaki di kolom komentar.

Kadang saya berpikir, mungkin di negeri ini sopan santun sedang di-soft launching versi beta, belum sempat diperbarui lagi sejak masa Ki Hajar Dewantara.

Baca Juga: Ribuan Jamaah Hadiri Milad ke-33 Ponpes Ibnu Aqil Sekaligus Peringatan Hari Santri Nasional 2025

Adab Sebelum Ilmu

 

Bagi kalangan santri, menghormati guru itu bukan ritual, tapi refleks moral.
Sejak pertama kali mengenal huruf hijaiyah, mereka diajari dua hal:
jangan mengangkat suara di hadapan kiai, dan jangan menatap tajam orang tua.
Bukan karena takut, tapi karena yakin, ilmu takkan masuk ke hati yang sombong.

Tapi di luar pagar pesantren, nilai itu sering dianggap “kuno”.

Padahal di tengah era disrupsi, ketika teknologi makin canggih, tapi etika makin ringkih, sikap hormat justru jadi “mata uang sosial” yang nilainya makin mahal.

Coba bayangkan, jika setiap anak muda nanti jadi pemimpin pada tahun Indonesia Emas 2045, tapi tak bisa menundukkan ego, bagaimana mungkin ia bisa menundukkan masalah bangsa?

Bonus demografi tanpa bonus akhlak hanya akan melahirkan manusia yang banyak kepala tapi sedikit hati.

 

Televisi, Tangan, dan Tanda

Kembali ke soal mencium tangan tadi.
Sebenarnya apa yang dicium santri itu?
Bukan daging, bukan kulit, tapi doa.
Tangan kiai itu simbol mata air keberkahan  yang di dalamnya mengalir doa dari guru ke murid, dari ilmu ke amal.

Mencium tangan bukan berarti menuhankan manusia, tapi menghormati ilmu yang Allah titipkan padanya.
Itu bentuk nyata dari ayat,

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)

 

Ironisnya, saat santri mencium tangan gurunya dengan hormat, sebagian penonton televisi mencemooh, tapi di waktu yang sama, mereka bersorak melihat idola K-Pop disalami sambil menunduk sampai nyaris 90 derajat.

Adab memang tak hilang di bumi ini, hanya saja… kadang salah alamat.

 

Antara Bonus dan Minus Demografi

 

Kita sering bicara tentang bonus demografi dengan wajah optimis:
“Anak muda Indonesia akan jadi motor perubahan!”
Tapi jarang yang ingat, bonus itu bisa berubah jadi minus demografi kalau yang muda kehilangan arah.

Santri yang menunduk itu mungkin tak pandai coding, tapi mereka belajar decoding makna hidup.

Mereka tahu, rendah hati bukan kelemahan, tapi kekuatan yang membuat ilmu bermanfaat.

Sementara di banyak ruang digital, generasi muda berlomba jadi paling benar, paling viral, paling trending, padahal belum tentu paling paham.

Kalau sikap hormat pada guru dianggap “kampungan”, jangan salahkan kalau nanti bangsa ini kehilangan sopan santun sebelum kehilangan sumber daya alamnya.
Sebab negeri ini besar bukan hanya karena batu bara dan nikel, tapi karena akhlak para guru yang sabar mengajar tanpa pamrih.

 

Hari Santri ke Indonesia Emas

 

Tepat di momen Hari Santri Nasional, 22 Oktober seharusnya kita belajar menunduk bukan pada manusia, tapi pada nilai-nilai yang membentuk manusia.

Santri yang mencium tangan gurunya hari ini bisa jadi pemimpin yang mencium bumi Indonesia dengan kerja keras dan ketulusan di tahun 2045 nanti.

Sebab, bangsa besar tak lahir dari mereka yang paling cepat menjawab soal,
tapi dari mereka yang paling lambat meninggalkan sopan santun.

 

Maka biarlah santri tetap dengan adabnya.
Biarlah mereka mencium tangan gurunya tanpa perlu izin kamera.

Karena dalam setiap ciuman itu, ada doa agar bangsa ini tetap punya generasi yang tahu kapan harus berjalan tegak dan kapan harus menunduk dengan hormat.

 

Simak rasioo.id di Google News

Komentar