Kampungan

Kata kampungan di abad modern menjadi frase bernada sinis. Kata ini dikonotasikan dengan hal yang serba tidak kekinian, norak, terbelakang, ketinggalan jaman, bahkan ada yang lebih sadis lagi, kampungan disamadengankan tidak tahu tata krama atau sopan santun.

Entah bagaimana mulanya, penambahan imbuhan ‘an’ pada kata kampung dikonotasikan dengan hal-hal yang dianggap memalukan. Bahkan, jika kita merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kampungan diartikan berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot, tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar;.

Barangkali, kata tersebut muncul di tengah ‘gagap’ reaksi kita hidup di abad modern. Kata ‘modern’ yang ditandai dengan penemuan mesin cetak pada awal abad ke 15, menjadi istilah yang kemudian berkembang sebagai isme atau paham pemikiran. Merubah tingkah laku, dan memengaruhi kebudayaan kita. Reaksi kita baik individu dan kelompok terhadap  modernisme terlampau berlebihan. Dunia modern yang diiringi oleh praktik dan teori  kapitalisme,  industrialisme kita anggap sebagai sesuatu yang paling tinggi. Lebih tinggi dari kemanusiaan.

Sialnya, kapitalisme dan industrialisme yang mengiringi pembangunan abad modern  menjerumuskan kita pada dunia materialistik. Manusia mengukur segala sesuatu dengan materi. Muncul kemudian istilah ‘matere’ dari sebagian kalangan untuk menahan laju ‘kematerean’ kita. Istilah ‘cowok matere’, ataupun ‘cewek matere’ sering kita dengar untuk menjuluki orang yang menjadikan materi sebagai tolak ukur sosial secara berlebihan.

Manusia modern merubah banyak hal untuk meninggalkan ke’kampungan’nya. Tampilan dan gaya hidup berubah menjadi ke-kota-an. Manusia modern tidak lagi mau tampil sarungan, dan mesti pakai jas, atau busana cassual untuk membedakan dirinya dengan orang kampung. Kalangan perempuan yang tidak berjilbab, tidak lagi menata rambut dengan ikat kepang atau kondean sebagai penanda masih gadis atau sudah menikah.

Konsep hunian dan bangunan rumah tinggal juga berubah. Orang kota membangun rumah couple atau berdempetan dengan pagar yang lebih tinggi dari atap rumahnya. Kehangatan hidup berkeluarga jauh berkurang, anak-anak kurang perhatian, interaksi dengan tetangga menjadi hal yang amat langka.

Dunia modern menempatkan manusia sebagai objek pembangunan. Manusia modern menjadi komoditi industri, produsen sekaligus pasar. Infrastruktur yang mestinya menjadi ruang untuk memelihara ‘kemanusiaan’ tidak terbangun. Kita membangun kota sekaligus membuat sekat-sekat sosial. Sarana yang kita bangun lebih mengedepankan gengsi sosial, dibanding apa yang menjadi kebutuhan.

Sawah dan ladang ditinggalkan, kebanyakan orang tua menyekolahkan anaknya bukan lagi untuk berilmu pengetahuan, tapi agar bisa diterima kerja di kantor dan pabrik-pabrik. Lembaga sekolah menjadi tempat mencetak angkatan kerja untuk menyuplai kebutuhan dunia industri. Pendidikan berbasis sanggar, padepokan, hingga pesantren dianggap ketinggalan jaman. Lulusannya, tidak bisa memenuhi syarat formal untuk masuk dunia kerja.

Kota menjadi dunia yang tidak mengenal siang dan malam. Manusia kota 24 jam bekerja, mengejar target dan persaingan yang terkadang sampai ‘membunuh’ nilai-nilai kemanusiaan. Lalu, dengan sikap ke-kota-annya, orang modern di kota menganggap kampung sebagai ‘dunia’ tertinggal. Perilaku kampungan dianggap ketinggalan jaman, norak, tidak beradab, primitif, dan sebutan negatif lainnya. Sementara orang kampung yang mudah tersindir, merasa malu dengan kampungannya itu. Mereka juga ikut-ikutan bergaya kota supaya dianggap modern.

Orang kampung rela menukar kerbau dan sawah untuk membeli mobil dan sepeda motor, demi menuruti gengsinya. Tidak juga semua demikian, ada yang memang menjual harta berharganya tersebut untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Tapi, jumlahnya sangat sedikit.

Lalu, ketika modernisne dengan semua materinya tidak memenuhi hal mendasar kemanusiaan, manusia kota mulai rindu dengan ‘kampungan’nya. Kini kebiasaan orang kampung ingin dikembalikan, mulai dari permainan anak-anak, interaksi sosial kemasyarakatan, sistem pendidikan, hingga konsep hunian dan makanan. Demikian juga orang kampung yang bergaya kota. Mereka juga ingin kampungan lagi.

Namun, kampung yang sudah menjadi kota sangat sulit mengembalikan suasana dulu. Orang tua hari ini, banyak yang dibikin jengkel melihat anaknya yang seharian menghabiskan waktu dengan game online. Tidak seperti mereka yang kampungan dulu. Di usia yang sama, mereka lebih banyak kumpul dengan teman sebaya, bermain dengan alat-alat yang sederhana, tapi mengasah kreatifitas. Mengisi waktu selepas Maghrib di surau atau rumah tinggal guru untuk mengaji, belajar ilmu agama, mengisi waktu liburan untuk membantu orangtua bekerja di sawah dan ladang. Kebahagiaan itu yang mereka ingin anak-anaknya rasakan. Aktif tidak pasif. Selain itu, masih banyak lagi kampungan yang mereka ingin kembalikan.

Tetapi, lingkungan yang tidak lagi kampungan minim pendidian komunal. Pengajian di langgar, surau atau mushola yang dulu ramai, kini sulit ditemui.

Kegelisahan yang sama juga dirasakan kalangan intelektual. Mereka mengkritik habis dan ingin sesegera mungkin mengakhiri modernisme karena dianggap sulit mentautkannya dengan teori pengetahuan lain. Teori kehidupan yang pro terhadap manusia dan lingkungan.

Mereka merumuskan postmodernisme atau pascamodernisme sebagai antitesa modernisme. Memasukan unsur lingkungan hidup, tradisi dan spiritual yang pada abad modern kurang mendapat perhatian,  menjadi bagian yang terpisahkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Muncul kemudian, istilah Millenium Development Goals (MDGs) dan Suistanable Development Goals (SDGs) menjadi konsep baru pembangunan abad 21. Membangun sekaligus merawat lingkungan, dan memanusiakan manusia.

Namun, sejak 2015 konsep pembangunan tersebut digaungkan kepala negara dunia, realitanya tidak benar-benar dipraktekkan. Barangkali, karena jejak panjang modernisme sudah begitu lekat dan sulit ditinggalkan.

Hingga akhirnya, kehadiran COVID-19 di ujung tahun 2019 memaksa dunia untuk berubah. Pandemi membuat seolah putaran dunia melambat. Istilah-istilah baru muncul, mulai dari Adaptasi Kebiasaan Baru hingga kenormalan baru (new normal) untuk membatasi pergerakan manusia. Jam operasional perkantoran dan tempat perbelanjaan dibatasi. Situasi yang membuat orang ‘terpaksa’ di rumah bersama keluarga.

Perlahan  mulai disadari situasi pandemi yang belum tahu kapan berakhir ini, menarik kita kepada kemanusiaan kita. Dari hal yang dulunya serba materi mulai diimbangi hal yang berakar tradisi serta spiritual.

Pandemi membawa kita pada jejak kearifan orang kampung. Sambil berjuang mengakhiri pandemi,  Kita sedang menuju ‘kampungan’ lagi. (*)

Lihat Komentar