Sempat menjadi komoditi unggulan di masa pemerintah Hindia Belanda, Kopi Bogor ditinggalkan petani hingga memasuki Indonesia merdeka. Baru di awal abad 21, kopi mulai dilirik kembali untuk dibudidayakan. Namun, itupun diawali rasa prihatin karena banyaknya lahan-lahan gundul di hulu Ciliwung yang menyebabkan sering terjadi banjir dan longsor, dan krisis air bersih di musim kemarau.
Kiryono, aktivis lingkungan hidup yang tinggal di Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor menjadi salah satu pelopor budidaya tanaman kopi di Kabupaten Bogor. Dibantu oleh beberapa anggota keluarga, Kiryono mulai menanam kopi di awal tahun 2000.
“Sebenarnya kopi kita tanam dengan tujuan menghijaukan kembali hutan agar lebih banyak meresap air. Karena meski berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, tetapi disini mengalami kesulitan air pada musim kemarau. Sebaliknya, saat musim penghujan menjadi sering longsor,” ujar Kiryono, beberapa waktu yang lalu.
Sebelumnya, Kiryono menanam tanaman apa saja yang bibitnya ia cari dari hutan karena tidak memiliki biaya untuk membeli bibit. Baru di awal 2020 ia mulai mengumpulkan sedikit uang untuk membeli bibit. Tanaman kopi dipilih, karena harga bibitnya yang cukup murah di kala itu. Namun, apa yang diupayakan Kiryono malah mendapat cibiran dari warga di lingkungannya. “Masyarakat disini lebih memilih memanfaatkan hutan untuk menanam sayur-sayuran, karena dianggap lebih bernilai ekonomi,” kata dia.
Kiryono tidak memedulikan cibiran tersebut. Ia tetap menanam kopi. Bibitnya berasal dari pohon kopi tua yang dia dia jumpai di hutan. Bersama ayah, paman dan adiknya, dia lalu coba membibitkan dan menanam ratusan bibit kopi. Kopi ditanam tanpa unsur pupuk kimia, mereka memilih pupuk kandang dan kompos.
“Sayangnya, tanaman kopi yang mereka tanam tak menghasilkan buah. Kami gagal dan itu menjadi pukulan telak. Saya sempat berhenti. Ternyata niat saja tidak cukup.” Kata Kiryono.
Hingga suatu saat apa yang dilakukan mereka didengar oleh Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor. Lembaga ini pun tertarik membantu Yono.
Tahun 2009, P4W menjadi mitra kerja Yono. Mereka melakukan kajian sekaligus memberian pelatihan. Yono makin giat mendalami aturan main di bidang kopi.
Pola penanamnya ternyata menuai kegembiraan. Bibit kopi yang ditanam oleh Yono ternyata tumbuh subur di ketinggian sekitar 1.000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Pohon – pohon kopinya berbuah lebat. Yang terpenting, usaha demi menjaga lingkungan terlaksana sehingga tak terjadi lagi krisis air di kampungnya.
Juarai Kontes Robusta Nasional
Usaha tidak membohongi hasil. Barangkali adagium tersebut juga dirasakan Kiryono. Keberhasilannya menghasilkan kopi dari bibit yang ia tanam diikuti dengan keberhasilannya yang lain. Kopi Robusta dari hulu sungai Ciliwung tersebut menjuarai kontes kopi robusta nasional pada 2016. Prestasi yang sebenarnya tidak pernah dia bayangkan saat 16 tahun yang lalu di saat dia mulai menanam.
Kopi Robusta Cibulao ikut kontes atas dorongan dari Pemerintah Kabupaten Bogor. Sebelumnya, persentuhan pemerintah di level daerah terhadap petani kopi di Cibulao memang sangat kurang. Meskipun demikian, Kiryono merasa bersyukur diikutkan kontes untuk mengenalkan keunggulan kopi yang dia tanam. “Dan Alhamdulillah kami menjuarai kontes robusta terbaik,” kata dia
Sejak kopinya menjuarai kontes, pesanan juga datang dari berbagai daerah, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Depok. Berkah tersebut, membuat kondisi perekonomian meningkat. Masyarakat petani yang tadinya hanya menjadi buruh petik teh mulai bersemangat menanam kopi. Mereka pun membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao Hijau. Awalnya hanya beranggotakan 4 orang, kini bertambah menjadi belasan orang.
“Saya tak pernah kesulitan menjual kopi, sekalipun harganya lebih tinggi dibanding kopi yang lainnya. Mungkin ini karena saya mempertahankan kualitas ketimbang kuantitas.” Kata dia
Dalam satu bulan, Kiryono bisa mendapat penghasilan Rp 30 juta dari tanaman kopi. Penghasilan tersebut belum termasuk dari usaha sampingan Kiryono yang menyulap kampung Cibulao menjadi daerah wisata. Ia membuka warung bagi pengunjung yang tentu saja menu utamanya adalah kopi seduh Cibulao Dari kopi ekonomi Cibulao bergeliat.
Namun, pada awal 2020, keadaan kurang menguntungkan untuk bisnis kopi. Pandemi Covid-19 yang berdampak pada sektor ekonomi, sangat berdampak pada turunnya permintaan. Menurut Kiryono, Omzetnya turun hingga 90 persen. “Biasanya sehari kita bisa menghasilkan sedikitanya Rp 1,5 juta tapi di masa pandemi hanya Rp 60 – Rp 100 ribu sehari,” kata dia.
Kiryono berharap ada intervensi pemerintah untuk para petani kopi. Peran pemerintah bisa dalam bentuk apa saja, terutama menyediakan pasar untuk kopi yang mereka hasilkan.
Mulai banyak warga desa yang mengikuti jejak Yono. Mereka pun membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao Hijau. Awalnya hanya beranggotakan 4 orang, kini bertambah menjadi belasan orang.
Berawal dari kampung suram di awal tahun 2000 an, Cibulao sekarang telah banyak berubah. Selain menjadi lebih hijau, kampung yang berada di hulu Sungai Ciliwung, di pinggir hutan lindung Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor ini, sekarang menjadi penghasil kopi robusta ternama. Pada tahun 2016, kopi dari Cibulao meraih Kontes Kopi Spesialiti Indonesia.
Konon keunikan rasa kopi Cibulao berasal dari komposisi tanaman kopi yang hidup di naungan beragam tumbuhan kayu hutan endemik. Jenis tanahnya yang subur, juga karena kopi ini ditanam di ketinggian dengan kelembaban basah tertentu khas hawa pegunungan dataran tinggi Jawa Barat.
Adapun muasal dari kopi Cibulao tak bisa dipisahkan dari sosok Kiryono (39). Ceritanya, di awal tahun 2000 dia heran melihat desanya, -meski berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, tetapi mengalami kesulitan air pada musim kemarau. Sebaliknya, saat musim penghujan menjadi sering longsor.
Dia lalu mengaitkan fenomena alam itu dengan kurangnya tanaman pohon di lingkungan sekitar. Niatnya hanya ingin menanami kembali lahan yang gundul oleh perambahan pada waktu itu.
Dia pun membulatkan tekad untuk mencari dan menanam bibit tanaman hutan. Karena tak ada modal untuk beli bibit, selama dua tahun, dia pun bolak balik masuk hutan mencari bibit tanaman.
“Setiap hari pokoknya ada target menanam [dari bibit yang ditemukan]. Tujuannya hanya satu yaitu menyelamatkan lingkungan,” ujarnya. Banyak yang mencibir apa yang dilakukan Yono waktu itu. Disebut tanaman yang dia tanam tak akan menghasilkan.
Memang perihal tanam-menanam sebenarnya dia awam. Pekerjaan utamanya adalah buruh petik teh di Perkebunan Teh PT Ciliwung. Cibulao sendiri, adalah permukiman buruh petik teh. Mayoritas penduduknya bekerja untuk perusahaan.
Sampai akhirnya dia mencoba menanam kopi, meski miskin pengalaman. Bibitnya berasal dari pohon kopi tua yang dia dia jumpai di hutan. Bersama ayah, paman dan adiknya, dia lalu coba membibitkan dan menanam ratusan bibit kopi. Kopi ditanam tanpa unsur pupuk kimia, mereka memilih pupuk kandang dan kompos.
Sayangnya, tanaman kopi yang mereka tanam tak menghasilkan buah. Kejadian tersebut sempat mengendurkan niat Yono. Keterbatasan dana menjadi beban terberat.
“Kegagalan waktu itu menjadi pukulan telak. Saya sempat berhenti. Ternyata niat saja tidak cukup.”
Hingga suatu saat apa yang dilakukan mereka didengar oleh Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor. Lembaga ini pun tertarik membantu Yono.
Tahun 2009, P4W menjadi mitra kerja Yono. Mereka melakukan kajian sekaligus memberian pelatihan. Yono makin giat mendalami aturan main di bidang kopi.
Pola penanamnya ternyata menuai kegembiraan. Bibit kopi yang ditanam oleh Yono ternyata tumbuh subur di ketinggian sekitar 1.000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Pohon – pohon kopinya berbuah lebat. Yang terpenting, usaha demi menjaga lingkungan terlaksana sehingga tak terjadi lagi krisis air di kampungnya.
Malam itu gerimis. Dirumahnya Yono sibuk memanggang biji kopi robusta. Dia mengecek suhu mesin roasting.
Panen kopi selalu baik hasilnya. Sebagian besar kopi sudah ludes dipesan pembeli, sisanya masih diolah untuk dijual. “Kopi ini untuk pesanan ke Jakarta. Kalau permintaan mah banyak, tetapi belum terpenuhi semuanya.”
Sejak kopinya terkenal menjadi pemenang ajang kontes kopi se-nusantara. Pesanan pun mengalir. Bahkan ada pembeli yang datang langsung ke rumahnya. Rumahnya pun tak pernah sepi dari tamu, termasuk mahasiswa dan pihak lain yang ingin berguru perihal kopi.
“Saya tak pernah kesulitan menjual kopi, sekalipun harganya lebih tinggi dibanding kopi yang lainnya. Mungkin ini karena saya mempertahankan kualitas ketimbang kuantitas.”
Dari kopi sekarang ekonomi Cibulao bergeliat. Mulai banyak warga desa yang mengikuti jejak Yono. Mereka pun membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao Hijau. Awalnya hanya beranggotakan 4 orang, kini bertambah menjadi belasan orang.
Menurut Yono, warga Cibulao kini menata diri menyiapkan kampungnya menjadi kampung wisata kopi. Rencananya, mulai dari pembibitan pohon kopi, panen, dan pasca panen kopi di Cibulao akan dijadikan wisata edukatif.
Tak hanya menanam. Bekerjasama dengan Perhutani mereka ingin mengembangkan ekoturisme, yang dipadukan dengan nilai edukasi dan pertanian tanaman kopi.
Salah satu yang dikembangkan adalah Bike Trail dengan medan lintasan sepanjang 5 kilometer. Konsepnya bersepeda santai di gunung sekaligus mempopulerkan Kopi Cibulao. Bike trail saat ini masuk ajang event, termasuk pernah digunakan untuk ajang di tingkat Asia.
Di awal 2019, atas ajuan dari KTH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK) melalui skema Perhutan Sosial kepada masyarakat Kampung Cibulao. Dalam SK disetujui kelompok ini mengelola kawasan hutan seluas 610,64 hektar bagi 75 kepala keluarga.
Melalui SK masyarakat diberi hak atau izin pengakuan dan perlindungan pengelolaan selama 35 tahun. Disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, tujuan lain adalah peningkatan tutupan lahan hutan dengan konsep konsep agroforestri.
“Tanpa merawat kesadaran. Tujuan menjaga keseimbangan alam tak akan pernah bisa berkelanjutan,” tutur Yono.
Sebutnya, yang perlu ditanamkan kepada anggota kelompok dan warga masyarakat adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Barang siapa menanam akan menuai. Terbukti dengan merawat lingkungan, mereka kini menuai keberkahan.
Apalagi Kampung Cibulao, berada di lokasi yang berdampingan dengan area konservasi sekaligus hulu Sungai Ciliwung. Maka masyarakatnya wajib berperilaku bijaksana.
Wilayah Bogor dan sekitarnya berhutang kepada Yono dan kawan-kawannya, sebab apa yang mereka lakukan untuk merawat hulu Sungai Ciliwung manfaatnya dapat dirasakan sampai ke hilir.