RASIOO.id – Peranan Nahdlatul Ulama (NU) dalam merawat kebangsaan dan keberagamaan tidak perlu diragukan lagi. Setelah Komite Hizaj menuntaskan misi menyelamatkan makam Rasulullah dari penggusuran Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi pada 1926, NU juga menorehkan sejarah di era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk menjelaskan hubungan Pancasila dengan Agama dan soal qunut subuh, hingga praktik ziarah kubur ‘ritual” warga Nahdliyin yang menggelisahkan ulama Arab Saudi.
KIsah bermula saat ulama Arab Saudi yang terhimoun di lembaga DarulIfta, lengkapnya Idaratul Buhutsil Ilmiyah wal-ifta wad-da’wah wal-irsyad mengundang PBNU untuk berkunjung pada Februari 1987. Darul Ifta merupakan Lembaga kajian Islam tertinggi di Ara Saudi dan sangat berpengaruh di bidang hukum, fatwa, dan bimbingan keagamaan.
“Bagi kami, kunjungan ini memiiki nilai historis yang tinggi, dan telah banyak menghasilkan titik temu,” kata KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari buku NU dan Gus Dur yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Analis Tempo.
Baca juga : Satu Abad NU, Sejarah Berdiri dan Tokoh yang Terlibat
Memenuhi undangan tersebut, Gus Dur didampingi oleh KH M Sahal Mahfudl ( Rais Syuriah NU Jawa Tengah), KH. Mustofa Bisyri, Fahmi Djafar Saifuddin (Wakil Ketua PBNU), dan Abdulah Syarwani (Ketua Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia). Rombongan tersebut melakukan kunjungan selama 13 hari terakhir bulan Februari 1987 yang memiliki makna penting, terutama dalam mempertemukan dua paham yang berbeda.
Kunjungan ini memang sangat bersejarah. Setidaknya, karena untuk pertama kalinya Ulama Arab Saudi mengundang Ulama NU untuk menjelaskan beberapa soal. Misalnya, benarkah NU suka menyembah kubur serta memelihara bid’ah?
Baca juga : Bikin Terharu, Menyematkan Makam Nabi Muhammad Jadi Alasan Berdirinya NU
Berbagai pertanyaan itu nampaknya sudah lama mengganjal dibenak ulama Saudi di Darul Ifta. Maklum, saat itu ulama Saudi yang dikenal sebagai pengikut Wahabi yang tidak berpegangan pada ketentian mazhab dalam pelaksanaan ritual agama berbeda denga NU.
Pertanyaan lain yang dicecar ulama Saudi kepada rombongan Gus Dur adalah soal qunut subuh yang diamalkan warga NU dan juga soal ziarah kubur. Sebelum mendapat penjelasan dari ulama NU, ulama Saudi beranggapan amaliyah warga NU sebagai perbuatan syirik dan bid’ah.
Penjelasan dari Ulama NU yang dipimpin oleh Gus Dur tersebut akhirnya mengikis pandangan tersebut. Setelah mendapat penjelasan, ulama Saudi memahami bahwa qunut Subuh yang diamalkan warga NU bukan lagi sebagai bid’ah. Ziarah kubur juga juga telah dimengerti bukan sebagai kegiatan memuja kuburan.
Menurut Gus Dur, citra NU di Arab Saudi kala itu memang kurang baik, karena informasi yang mereka dapat tidak lengkap.
Adanya pengertian ini tentu menjadi kabar baik buat semua, terutama untuk menetralisir peruncingan khilafiyah antara NU dan Persis atau Muhammadiyah kala itu.
Apalagi jika pengertian yang mendalam itu justru datang dari ulama tertinggi Darul Ifta, yang memiliki kedudukan sangat menentukan dalam masalah keagamaan di Arab Saudi yang dipimpin Rais Am Darul Ifta, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Selain menemui ulama Darul Ifta, Delegasi NU yang dipimpin Gus Dur juga mengunjungi Rabithah Al-Alamil Islami (Liga Muslim se-Dunia) dan WAMY (World Assembly of Muslim Youth). Pentolan atau tokoh organisasi tersebut mencecar pertanyaan soal penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai sat-satunya asas.
Menurut Gus Dur, pertanyaan tersebut dimaklumi karena mereka berpandangan Islam sebagai hukum nasional negara mereka, karena 100 persen penduduknya beragama Islam.
“Ya, maklum, mereka memang tidak begitu paham soal Pancasila. Mereka hanya tahu Islam sebagai hukum nasional negara mereka, karena 100 persen penduduknya beragama Islam,” kata Gus Dur.
Delegasi NU yang dibawa Gus Dur menjelaskan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur Islam, malah menyuburkannya.
“Hukum Islam harus menjadi tanggung jawab kaum muslimin sendiri dalam kehidupan mereka. Bukan menjadi hukum formal, tapi hukum positif yang harus dikerjakan sehari-hari. Tanpa diundangkan. Tanpa menunggu negara. Ini yang saya terangkan kepada mereka. dan mereka paham,” terang Gus Dur (*)
Sumber : NU dan Gus Dur (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2021)
Editor : Ramadhan
2 komentar