Membaca Makna Politik Di Balik Deklarasi Museum Proklamasi

 

 

 

Partai Golkar dan PAN resmi mendeklarasikan dukungan politik dan bersama PKB dan Partai Gerindra mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Capres menuju Pemilu 2024 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada Ahad 13 Agustus 2023.

Apa makna politik yang bisa dibaca di balik deklarasi Museum Proklamasi tersebut? Deklarasi Capres Prabowo Subianto de facto memaknai terjadinya perubahan signifikan peta koalisi dan kekuatan politik menuju Pilpres 2024. Signifikan karena perubahan tersebut berdampak pada dua hal.

Hal pertama: menandai tamatnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). PPP lebih dahulu memilih kerjasama dengan PDIP untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres. Sementara Partai Golkar dan PAN bergabung dengan Gerindra dan PKB dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) berkomitmen mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres.

Hal kedua: melahirkan terjadinya pergeseran kekuatan politik. Di satu sisi secara eksternal, bergabungnya Partai Golkar dan PAN dengan Partai Gerindra dan PKB menambah kekuatan pertarungan antar partai politik dalam memenangkan Pilpres 2024. Akan tetapi di sisi lain, pergeseran tersebut menimbulkan friksi internal yang kemudian bisa memicu fragmentasi politik, terlebih di antara PKB, Partai Golkar dan PAN, dalam hal kandidasi dan nominasi Cawapres.

PKB, karena pembentuk generik KKIR yang mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres, tentu saja tetap ngotot Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres. Sementara PAN mempunyai preferensi politik mengajukan Erick Thohir sebagai Cawapres. Partai Golkar mungkin legowo, karena alasan kesejarahan lebih cenderung merapat dan menguatkan Prabowo Subianto ketimbang kutak-katik urusan Cawapres.

Dengan Deklarasi Museum Proklamasi tersebut terpetakan tiga poros kekuatan politik menuju Pilpres 2024, yaitu: (1) Poros Anis Baswedan yang diperkuat Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS. (2) Poros Ganjar Pranowo yang diperkuat PDIP dan PPP. (3) Poros Prabowo Subianto yang diperkuat Partai Gerindra, PKB, Partai Golkar dan PAN.

Makna lain yang dibaca dari mengkristalnya poros kekuatan politik menuju Pilpres 2024 dapat dilihat dari dua segi.

Segi pertama: terbentuknya tiga poros kekuatan politik menuju Pilpres 2024 dapat merefleksikan kekuatan, pengaruh, peran dan preferensi politik tiga presidential maker: (1) Surya Paloh yang membidani kelahiran Poros Anis Baswedan. (2) Megawati Soekarnoputri yang melahirkan Poros Ganjar Pranowo. (3) Joko Widodo yang cenderung hatinya pada Poros Prabowo Subianto.

 

Terbelahnya kekuatan partai-partai politik pendukung pemerintahan (selain Partai Nasdem: PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN, PPP) disinyalir dipicu oleh preferensi politik yang berseberangan antara Jokowi dan Megawati.

Segi kedua: terjadinya perubahan signifikan peta koalisi dan kekuatan politik menuju Pilpres 2024 dapat mempengaruhi perilaku memilih (voting behavior) di tingkat pemilih (voter).

Pemilih bisa menyatakan preferensi politiknya dengan memilih Capres dari poros kekuatan politik berdasarkan pertimbangan terhadap faktor-faktor tertentu. Mulai dari faktor sosiologis (etnisitas, regionalitas, agama, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya), faktor psikologis (identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu), hingga faktor rasional-ekonomis (kinerja pemerintahan dan ekspektasi).

 

 

Gotfridus Goris Seran
Pengamat Politik Universitas Djuanda

Lihat Komentar