RASIOO.id – Konflik terkait pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, terus berlanjut.
Akibatnya, Ratusan orang yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Pemersatu Umat menggelar aksi penolakan terhadap pembangunan Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal (MIAH) pada Rabu, 4 Agustus 2024.
Aksi ini berlangsung di Jalan Kolonel Ahmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.
Semua ini, dipicu dari pasca berakhirnya Keputusan Wali Kota Bogor Nomor 300/Kep 239-Huk.HAM/2022 tertanggal 27 Juli 2022, pihak Yayasan Pendidikan Islam (YPI) MIAH menuntut agar Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor segera membuka akses masuk ke area masjid yang selama ini terkunci.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Kota Bogor, melalui Ketua Adv. Rudi Mulyana menyampaikan kritik keras terhadap Pemerintah Kota Bogor.
Menurutnya, permasalahan ini berakar dari kelalaian Pemkot dalam memberikan izin kepada pihak-pihak yang menganut paham Wahabi-Salafi.
“Pemkot Bogor tidak cukup sigap dan kurang memahami implikasi ideologis dari paham tersebut,” kata Rudi dalam rilisnya, Kamis, 05 September 2024.
Rudi Mulyana menekankan bahwa keberadaan paham Wahabi-Salafi sering kali memicu kekacauan sosial secara terstruktur dan sistematis di berbagai belahan dunia.
“Kami menegur Pemkot Bogor agar lebih waspada dan bijaksana dalam mengambil kebijakan, terutama terkait perizinan bagi kelompok-kelompok yang terindikasi ekstrim,” tegasnya.
Menurut Rudi, Pemkot Bogor awalnya memberikan izin berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang kemudian diubah menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Namun, tidak lama setelah itu, PBG tersebut dibatalkan oleh Pemkot, yang kemudian digugat oleh YPI MIAH di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Dalam putusan PTUN, YPI MIAH memenangkan gugatan tersebut, sehingga Pemkot harus menerima kekalahan.
Setelah putusan PTUN, Pemkot Bogor menetapkan status keadaan konflik sosial di wilayah tersebut, yang didukung oleh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor.
Menurut Rudi, ini merupakan bukti nyata kelalaian Pemkot dalam memahami isu-isu sosial global.
“Pemerintah Kota Bogor telah terbukti miskin pengetahuan tentang permasalahan sosial yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Rudi menyoroti bahwa proses perizinan rumah ibadat diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Peraturan tersebut mengatur syarat administratif, teknis, dan khusus yang harus dipenuhi, termasuk dukungan masyarakat setempat dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Ia juga menegaskan bahwa beberapa pihak, termasuk Pemkot Bogor, Departemen Agama, dan FKUB, harus bertanggung jawab atas masuknya paham Wahabi-Salafi di Kota Bogor.
“Mereka tidak boleh berlagak tidak tahu atau cuci tangan dari masalah ini. Umat menolak pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, dan juga akan mengejar pihak-pihak yang diduga menjadi biang keladi dari kekacauan ini,” tutup Rudi.
Simak rasioo.id di Google News