Politik Masa Depan: Antara Perut, Ide, dan Kebijaksanaan

 

RASIOO.id – Politik di negeri ini sering mirip pasar malam: penuh lampu, teriakan, dan janji yang lebih manis dari gulali. Tapi kalau tenda sudah dibongkar, yang tersisa hanya dua hal: perut rakyat yang lapar dan kepala pemimpin yang pusing. Di titik inilah kita bisa belajar dari tiga jalur filsafat besar: materialisme, idealisme, dan kebijaksanaan stoik.

Kaum materialis dari Demokritos sampai Karl Marx mengingatkan bahwa politik tak bisa lepas dari urusan nasi bungkus. Marx pernah menulis, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan hidupnya, melainkan hidup sosial yang menentukan kesadarannya.” Kalau harga beras naik, rakyat sulit diajak bicara demokrasi. Politik tanpa perut kenyang ibarat khotbah panjang di tengah perut keroncongan.

Sebaliknya, para idealis dari Plato hingga Hegel menegaskan bahwa politik bukan sekadar dapur umum. Plato percaya, “Negara akan sejahtera jika dipimpin oleh para filsuf,” sementara Hegel menulis bahwa negara adalah “perwujudan nyata dari roh.” Dengan kata lain, negara bukan hanya mesin ekonomi, tetapi rumah cita-cita dan moral. Masalahnya, idealisme di negeri ini sering berhenti di layar proyektor seminar. Setelah ruangan sepi, yang tersisa hanyalah daftar hadir dan nasi kotak.

Di tengah hiruk pikuk itu, Stoikisme menawarkan jalan lain: tenang, sederhana, dan penuh kendali diri. Epictetus mengingatkan, “Bukan peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan cara mereka menafsirkan peristiwa.” Coba bayangkan jika pejabat kita tahan kritik, tidak rakus proyek, dan sabar mengelola masalah. Politik mungkin tak akan sekeras ini. Marcus Aurelius pun mengingatkan, “Kekuasaan itu sementara, kebajikanlah yang abadi.”

Maka politik masa depan seharusnya menyatukan tiga arus: materialisme yang menjaga perut rakyat, idealisme yang menyalakan cita-cita, dan stoikisme yang melatih jiwa agar tidak mabuk kuasa. Tanpa itu, politik hanya akan jadi panggung rebutan kursi. Dengan itu, politik bisa jadi rumah besar di mana rakyat bisa duduk, makan, dan bicara dengan tenang.

Agama sebenarnya sudah lama memberi jalan tengah. Islam, misalnya, melalui sabda Nabi Muhammad SAW: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok hari.” Pesan ini merangkum semuanya: perut, ide, dan jiwa. Kalau keseimbangan ini dijaga, politik bukan lagi pasar malam penuh tipu daya, melainkan cahaya jalan pulang bagi bangsa.

Baca Juga : Menuju Abad Kedua Republik: Bonus Demografi, Drama Politik, dan Secangkir Harapan

 

Simak rasioo.id di Google News

Jangan Lewatkan

Komentar