Putusan MK Pisahkan Pemilu Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah, Pengamat: Pelanggaran Akan Terulang

 

RASIOO.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional (Pilpres dan Pileg) dengan Pemilu Lokal (Pilkada) menuai sorotan dari berbagai kalangan.

Meski bersifat final and binding, putusan tersebut dinilai tidak akan membawa perubahan berarti terhadap persoalan mendasar dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

Pengamat Politik Nasional, Adi Prayitno, menilai keputusan MK tersebut sebagai hal yang paradoksal. Menurutnya, pemisahan Pemilu tidak otomatis memperbaiki kualitas demokrasi jika akar persoalan utamanya tidak dibenahi.

 

“Keputusan MK itu paradoks. Ia memang final dan mengikat, tapi tidak akan mengubah apapun. Pemisahan Pemilu nasional dan lokal bukan jawaban atas masalah pokok Pemilu kita,” ujar Adi kepada Rasioo.id, Kamis, 23 Oktober 2025.

Baca Juga: Adi Prayitno: Kualitas Demokrasi Ditentukan oleh Partisipasi Anak Muda

Adi menegaskan, sejarah politik Indonesia pernah mencatat bahwa Pemilu Presiden dan Legislatif juga pernah dipisah, namun pelanggaran tetap berulang.

Masalah utamanya, kata dia, bukan pada jadwal Pemilu, melainkan pada ketaatan terhadap aturan hukum dan integritas penyelenggara serta peserta Pemilu.

“Secara prinsip, Pemilu kita akan baik kalau semua aturan ditaati. Kalau tidak, meskipun Pemilu dipisah antara dunia dan akhirat, pelanggaran seperti politik uang, keterlibatan aparat, atau penyalahgunaan bansos akan tetap terjadi,” tegasnya dengan nada satir.

Kendati demikian, Adi melihat sisi positif dari putusan MK, terutama bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah.

Dengan adanya pemisahan Pemilu, wacana menjadikan dua lembaga tersebut bersifat ad-hoc dinilai tidak lagi relevan.

 

“Kalau Pemilu dilakukan serentak seperti sebelumnya, wacana menjadikan KPU dan Bawaslu ad-hoc pasti makin kencang, karena mereka dianggap tidak punya pekerjaan selama empat tahun setelah Pemilu,” jelas Adi.

 

Dengan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah yang kini terpisah sekitar dua tahun, kedua lembaga itu akan terus memiliki peran aktif dalam setiap tahapan demokrasi.

“Setelah Pemilu nasional selesai, dua tahun kemudian mereka harus siap lagi menghadapi Pilkada. Jadi tidak relevan bicara soal pembubaran atau ad-hoc,” tambahnya.

Adi juga menyebut, pemisahan Pemilu dapat membantu mengurangi kejenuhan pemilih (voter fatigue) yang sempat terjadi dalam Pemilu serentak.

Berdasarkan pengalaman, partisipasi publik cenderung menurun di Pilkada ketika digelar berdekatan dengan Pilpres dan Pileg.

 

“Kabar baiknya, pemisahan ini bisa jadi antisipasi kejenuhan pemilih. Selain itu, KPU dan Bawaslu di daerah juga bisa lebih fokus mempersiapkan tahapan Pilkada,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan agar Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dilaksanakan secara terpisah, dengan jeda waktu sekitar dua tahun.

Putusan ini menjadi perubahan penting dalam desain penyelenggaraan Pemilu 2029 mendatang, sekaligus menandai berakhirnya skema Pemilu serentak seperti pada tahun 2019 dan 2024.

 

 

Simak rasioo.id di Google News

Komentar