Dugaan Suap Menyeret Komisioner KPU Kota Bogor Dede Juhendi, Pakar Hukum Sebut Istri Cawalkot Bogor Wajid Diperiksa

RASIOO.id – Kasus dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan salah satu pasangan calon Wali Kota Bogor dan oknum Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor Dede Juhendi tengah menjadi sorotan publik.

Peristiwa ini mengundang kekhawatiran atas integritas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Diduga kuat, salah satu calon Wali Kota Bogor, melalui istrinya, terlibat dalam praktik suap atau gratifikasi terhadap oknum Komisioner KPU.

Menurut pengamat hukum Adv. Rd. Anggi Triana Ismail perbuatan seperti ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap.

Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, suap didefinisikan sebagai tindakan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pejabat publik agar bertindak di luar kewenangan atau kewajibannya yang terkait dengan kepentingan umum.

“Ancaman pidana bagi pemberi suap adalah penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp15 juta, sementara penerima suap diancam penjara maksimal tiga tahun dengan denda yang sama,” kata Anggi dalam rilisnya, Minggu, 8 Desember 2024.

Selain itu, Anggi menegaskan bahwa tindakan ini juga dapat dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

“Hukuman untuk pelanggaran ini sangat berat, yakni pidana penjara seumur hidup atau penjara 4 hingga 20 tahun, serta denda mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar,” tegas dia.

Dugaan semakin kuat karena aliran dana disebutkan langsung masuk ke rekening pribadi oknum Komisioner KPU Kota Bogor.

“Jika ini benar, perbuatan tersebut jelas melawan hukum (recht delicten) dan mengandung unsur niat (mens rea) yang disadari. Aparatur Penegak Hukum (APH) harus bergerak tanpa perlu menunggu laporan masyarakat,” ucap Anggi.

Lebih lanjut, Anggi meminta agar kasus ini tidak hanya digiring ke ranah etika yang menjadi domain Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Ini bukan sekadar persoalan kode etik, melainkan pelanggaran hukum serius yang merusak demokrasi. APH, baik Kepolisian maupun Kejaksaan, harus turun tangan menindaklanjuti kasus ini dengan serius,” pungkasnya.

Mafia Demokrasi di Balik Pemilu

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi proses demokrasi di Kota Bogor. Penyelenggara pemilu, yang seharusnya menjaga netralitas dan integritas, justru dituding berubah menjadi “broker” demokrasi.

“Situasi ini menjadi peringatan bagi semua pihak agar penegakan hukum dilakukan dengan tegas untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,” bebernya.

Publik kini menantikan langkah nyata dari aparat hukum untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan bahwa hukum tetap menjadi panglima dalam menghadapi pelanggaran demokrasi semacam ini.

 

Simak rasioo.id di Google News

Lihat Komentar