“Didiklah anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup pada zamannya bukan pada zamanmu”.
Ali Bin Abu Thalib
RASIOO.id – Dwight Manfredi nampak keki setengah mati saat putrinya Cristina mengajak berkeliling salah satu sekolah dasar elit di Tulsa, Oklahoma untuk menyekolahkan cucunya, Putra Tina. Dwight seorang capo (kapten) Mafia yang menghabiskan masa hidupnya 25 tahun di penjara nampak tak cocok dengan berbagai program pembentukan karakter yang dipresentasikan kepala sekolah dasar sekolah elit tersebut.
Pertandingan basket tanpa skor, pemeranan karakter sosok perempuan pada ekstrakulikuler teater yang wajib bagi anak laki-laki sekalipun.
Dwight menilai pendidikan macam itu sangat “lembek” dan tidak cocok dengan realitas kehidupan yang akan dihadapi anak-anak hari ini dan masa depan.
Pendidikan karakter dalam pandangan Dwight harus agak keras untuk pembentukan fisik, disiplin dan penuh semangat kompetitif. Dia berpandangan dunia nyata tidak seperti gambaran pihak sekolah yang seakan semua baik dan lurus-lurus saja, dan semua bisa dihadapi dengan sikap santun dan menerima apa adanya. Sangat naif.
Baca Juga: Abimanyu: Belajar Strategi Perang, Tapi Sayangnya Ibunya Ketiduran
Sementara Tina berpandangan, apa yang digambarkan Ayahnya soal pembentukan karakter anak-anak yang keras dan “bertarung” sudah tidak cocok diterapkan zaman sekarang, dan tidak sesuai dengan kebutuhan masa depan.
Cerita tersebut merupakan cuplikan dari serial Tulsa King yang dibintangi Sylverster Stallone. Nampaknya, kritik pendidikan yang disampaikan Dwight ada relevansinya dengan situasi pendidikan hari ini, termasuk di Indonesia.
Setidaknya, semangat kompetisi di pendidikan dasar hingga menengah atas yang dulu diaplikasikan dalam sistem ranking kelas dan juara umum sudah hilang sama sekali.
Raport semester anak-anak kita hanya berisi nilai pencapaian kompetensi dari tiap bahasan mata pelajaran yang diajarkan gurunya. Predikatnya, mencapai atau tidak mencapai kompetensi. Dan nampak jelas, setiap siswa, semuanya mencapai kompetensi. Setidaknya itu menurut gurunya.
Tidak ada yang tidak naik kelas. Tidak ada ranking untuk mengetahui urutan ke berapa kemampuan anak-anak kita dari jumlah siswa di kelasnya. Apalagi juara umum sekolah. Tidak ada. Titik.
Demikian juga interaksi orang tua murid dan guru di sekolah. Orang tua “bagaikan” menitip pangeran dan tuan putri ke sekolah. Tidak boleh dibentak. Tidak boleh dicubit, apalagi menggebuk pantat anak jika berbuat salah atau bandel di sekolah. Coba-coba saja itu terjadi, urusan bisa berabe dan panjang. Bahkan, bisa menggerek pihak kepolisian.
Dunia perguruan tinggi pun tak kalah seru. Belakangan ini ramai dibahas soal fenomena “inflasi IPK.” Kalau dulu IPK 3,0 aja sudah cukup bikin orang tua pasang spanduk “Selamat Anakku Lulus dengan IPK Membanggakan,” sekarang IPK 3,5 ke atas malah kayak harga diskon: semua kebagian.
Data tahun 2024 bahkan bikin geleng-geleng kepal. Rata-rata IPK nasional tembus 3,59. Artinya, mayoritas mahasiswa lulus dengan nilai “sangat tinggi.” Hebat sekali. Kalau sistem rating hotel dipakai di kampus, kayaknya semua sudah bintang lima, bahkan ada yang bonus sarapan.
Kenapa bisa begitu? Salah satunya sistem pendidikan yang makin fleksibel. Kurikulum digital lebih rapi, tugas lebih terstruktur, dosen makin friendly. Kampus juga sibuk ngejar akreditasi dengan target “kelulusan tepat waktu.” Jadi mahasiswa jangan sampai nyasar atau ngulang. Makanya penilaian ikut longgar, bisa dibilang lebih dermawan daripada tukang parkir kasih kembalian.
Tapi ya, kita perlu jujur juga: apakah ini berarti mahasiswa makin pintar, atau kampusnya makin royal kasih nilai? Kalau semua orang cumlaude, apa artinya cumlaude? Kalau semua juara, siapa sebenarnya yang terbaik?
Bayangkan kalau semua lulusan bawa gelar cumlaude, HRD yang wawancara mungkin harus pakai cara lain: “Baik, IPK Anda 3,85. Hebat. Tapi bisa bikin Excel nggak?”
Intinya, dunia pendidikan perlu tetap jaga kualitas penilaian. Boleh fleksibel, tapi jangan jadi toko amal nilai. IPK dan gelar itu semestinya mencerminkan kemampuan, biar dunia kerja bisa percaya. Jangan sampai besok muncul jurusan baru: S1 Mencapai Kompetensi dengan Predikat “Sangat Mencapai.”
Simak rasioo.id di Google News